MEMBENTUK PRIBADI TANGGUH DENGAN KONSEP SISTEMATIKA WAHYU

MEMBENTUK PRIBADI TANGGUH DENGAN KONSEP SISTEMATIKA WAHYU

 (Studi Analitis Pengaruh Konsep Sistematika Wahyu Dalam Pembentukan Kepribadian Muslim)

 

ABSTRAK

 

Keberhasilan Rasulullah membina para sahabatnya merupakan suatu pelajaran sejarah yang patut dijadikan panduan dalam melakukan pembinaan, baik terhadap individu maupun kelompok atau jama’ah. Hal inilah yang mengilhami pendiri pesantren hidayatullah Ust. Abdullah Said (alm) untuk menapaktilasi keberhasilan tersebut dengan melakukan pembinaan kepada rekan beliau pada awal berdirinya pesantren.

Salah satu konsep (manhaj) yang diterapkan Rasulullah dalam membina sahabat beliau adalah dengan mengaplikasikan tata urutan wahyu yang turun pertama kali (tartibun nuzul). Tata urutan wahyu ini di lingkungan pesantren hidayatullah dikenal dengan konsep sistematika nuzulnya wahyu, yang mengandung pengertian suatu upaya merekonstruksi nilai-nilai Al-Qur’an yang turun pertama kali sebagaimana Rasul dan sahabatnya. Salah satu refleksi konkrit dari upaya Ustadz Abdullah Said menapaktilasi keberhasilan Rasulullah tersebut adalah beliau mampu menghasilkan kader-kader dakwah yang memiliki pribadi tangguh dan siap diterjunkan ke tengah masyarakat untuk mengemban dakwah Islam. Dari kader-kader inilah kemudian pesantren Hidayatullah berkembang di seluruh pelosok nusantara.

Tulisan ini merupakan hasil penelitian pada mahasiswa STAI Luqman Al Hakim Surabaya, dimana mereka adalah bagian dari kader pesantren yang mendapat pembinaan dengan konsep sistematika nuzulnya wahyu. Dari hasil penelitian tersebut akan diuraikan secara mendalam dengan topik pengaruh konsep sistematika nuzulnya wahyu dalam membentuk kepribadian muslim.

Key Words: Konsep, wahyu, pribadi, pesantren hidayatullah, dan sistematika

 

A. Pendahuluan

            Sukses Rasulullah mengubah wajah dunia dari kejahiliahan menjadi dunia yang penuh dengan ketentraman dan kabar gembira mengilhami pendiri Pesantren Hidayatullah Ustadz Abdullah Said (Alm) untuk menapaktilasi kesuksesan tersebut dengan mendirikan pesantren. Keberadaan pesantren Hidayatullah yang didirikan di Balikpapan Kalimantan Timur sekitar tahun 1972-an sampai sekarang telah berkembang di seluruh pelosok tanah air. Hal ini merupakan wujud konkrit dari mujahadah beliau yang di ilhami oleh kesuksesan Rasulullah tersebut.

            Kesuksesan dakwah yang diaplikasikan Rasulullah ketika membina para sahabat yang mengikuti ajaran beliau pertama kali adalah diantaranya karena merujuk pada manhaj tata urutan turunnya wahyu (tartibun nuzul). Dakwah yang beliau lakukan senantiasa dibimbing wahyu, sehingga apa yang menjadi pemikiran, program, dan metode yang diterapkan dalam membina para sahabat secara garis besar hampir tidak pernah mendapat kegagalan, justru melahirkan sosok manusia atau hamba Allah yang tahan bantingan dalam segala situasi dan kondisi, melahirkan pribadi-pribadi yang tidak pernah mengeluh dan cengeng terhadap masalah-masalah yang mereka hadapi.

            Produk manusia seperti uraian di atas merupakan hasil pembinaan dari kandungan wahyu yang turun pertama kali. Wahyu tersebut terakumulasi dalam lima surat dan merupakan satu kesatuan utuh yang kemudian dijadikan konsep oleh pesantren hidayatullah dan dikenal dengan konsep sistematika nuzulnya wahyu. Konsep ini mengandung pengertian suatu upaya merekonstruksi nilai-nilai al-Qur’an secara sistematis sebagaimana Rasulullah terapkan kepada para sahabatnya. Substansi dari surat-surat yang turun pertama kali tersebut berisi materi-materi kajian yang dijadikan pedoman oleh Rasulullah dalam membina para sahabatnya sehingga melahirkan sosok manusia yang memiliki keperibadian tangguh.

            Melihat fenomena keberhasilan Rasulullah tersebut, Ust. Abdullah Said bersama rekan beliau yang seide berupaya untuk mengulangi kembali kronologi kesuksesan pola pembinaan yang diterapkan Rasulullah. Bentuk upaya yang dilakukan Ust. Abdullah Said bersama rekan-rekannya adalah dengan membangun kampung islami di Karang Bugis Balikpapan. Dari sinilah kemudian lahir para kader yang memiliki keperibadian mantap, tegas, tidak cengeng dan siap mengemban amanah dakwah ke seluruh tanah air.

B. Konsep Sistematika Nuzulnya Wahyu

B.1. Pengertian.

            Kalimat konsep (manhaj) sistematika nuzulnya wahyu merupakan terminologi yang dipakai oleh Ustadz Abdullah Said (pendiri  pesantren hidayatullah) dengan maksud suatu rancangan, ide, dan gagasan untuk mengulangi kembali kejayaan yang pernah diraih Rasulullah bersama para sahabat dan pengikut beliau dalam mendakwahkan Islam, karena pola pembinaannya merujuk pada tata urutan wahyu yang turun pertama kali (tartibun nuzul). Dengan kata lain konsep sistematika nuzulnya wahyu adalah suatu upaya merekonstruksi nilai-nilai Al-Qur’an secara sistematis sebagaimana yang dilakukan Rasul dan para sahabatnya dalam mengemban dakwah Islam1.

B.2. Komponen Konsep Sistematika Nuzulnya Wahyu

            Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa konsep sistematika nuzulnya wahyu terdiri dari beberapa bagian surat yang turun pertama kali. Kelima surat tersebut kemudian dijadikan konsep oleh pesantren Hidayatullah. Lima surat yang dimaksud tersebut adalah Surat Al-Alaq 1-5, Surat Al –Qolam 1-7,  Surat Al Muzammil 1-10, Surat Al Mudatsir 1-7, dan Surat Al Fatihah 1-7.

            Pertama, surat al alaq 1-5 merupakan kunci utama dalam membangun kesadaran hidup bertauhid. Melalui wahyu pertama ini Allah mengenalkan dirinya sebagai  Robb yang memiliki dua sifat utama yaitu sebagai pencipta dan sebagai dzat yang maha mengetahui. Dalam wahyu ini juga mengajak manusia untuk mengenal dirinya, bahwa semua manusia berasal dari bahan baku yanng sama, yaitu “alaqoh”. Melalui pengenalan ini diharapkan manusia dapat memposisikan dirinya dihapan Allah bahwa selain hina dan lemah di hadapan-Nya, manusia juga tidak mempunyai nilai apa-apa. Ia hanya sebagai makhluk sebagaimana penciptaan lainnya, yang segala sesuatunya sangat bergantung kepada sang pencipta.

            Sebagai makhluk yang diciptakan, manusia tidak mempunyai hak apa-apa di hadapan kholiq (sang pencipta). Tidak ada hak tawar menawar apalagi menampik titah dan perintah-Nya. Segala bentuk perlawanan merupakan penyimpangan dari fithrah dan tujuan penciptaan-Nya. Hasil konkrit dari pendidikan Al-Alaq ini adalah lahirnya pribadi-pribadi dan masyarakat muslim yang hidup secara tauhid, baik dalam berpikir, berbuat, dan bersikap. Semua pikiran, perbuatan, dan tindakannya hanya didasarkan pada suatu keyakinan bahwa laa ilaha illallah, tiada tuhan selain Allah.

            Kedua, Surat Al-Qolam 1-7. Setelah bersyahadat, tentunya cita-cita seseorang tiada lain kecuali menegakkan kalimat Allah. Keinginannya adalah menyaksikan suatu kehidupan harmoni dalam tata aturan Allah. Karenanya perlu disiapkan metode untuk mencapai obsesi tersebut.

            Yang ingin dicapai dari tahap ini adalah kuatnya keyakinan akan kebenaran laa ilaha illallah. Ini perlu untuk memberikan kekuatan moral di tengah masyarakat. Sebagaimana diketahui, pada masa sekarang ini suatu kebenaran busa menjadi bahan olokan, sementara tindakan kemungkaran justru diagung-agungkan.

            Wahyu kedua ini juga mengandung bimbingan kepada manusia agar memiliki khittah hidup yang jelas. Maksudnya pada wahyu ini Allah menginformasikan kepada setiap muslim untuk memantapkan keyakinan. Tidak mundur karena rintangan dan tidak takut karena celaan. Digambarkan prospek hidup seorang muslim dengan bayangan yang indah, tidak akan menjadi gila, akan mendapat guna dan manfaat yang tidak terbatas dan akan memiliki akhlaq serta pribadi yang agung. 

            Ketiga, surat Al Muzammil ayat 1-10. Wahyu ketiga ini berisikan tentang pembekalan mental yang harus disiapkan oleh setiap pejuang Islam untuk menghadapi segala situasi. Persiapan ini menjadi sangat penting agar api semangat perjuangan tetap menyala sepanjang masa. Tak lapuk karena hujan, tak lekang karena panas. Istiqomah dalam berjuang baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit.

            Dalam surat ini juga menggambarkan kepribadian yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Semua pekerjaan menuntut persyaratan pribadi yang baik. Untuk melanggengkan cita-cita menegakkan laa ilaha illallah perlu keutuhan dalam menampilkan diri sebagai seorang muslim sejati. Identitas ini bahkan harus melekat dimanapun berada, bukan hanya bila di muka umum.

            Disamping itu dalam surat ini dijelaskan pula bahwa Islam menyiapkan konsep tentang menjaga kualitas diri, yakni dengan memotivasi ummatnya agar memperhatikan ibadahnya. Persyaratan inilah yang dituntut dalam tahapan selanjutnya sebagaimana terangkum dalam surat ketiga Al Muzammil ayat 1-10.

            Yang ditekankan dalam surat ini adalah shalat malam, sebagai ibadah tambahan. Hal ini menyiratkan asumsi bahwa ibadah-ibadah wajib dengan sendirinya sudah dilaksanakan. Shalat malam juga menjadi persyaratan akhlaq pejuang-pejuan kebenaran, karena dibalik itu Allah menjanjikan banyak kelebihanyag tidk akan dimiliki orang lain.

            Tuntutan kedua adalah memperbanyak membaca dan mempelajari Al Qur’an. Kemudian memperbanyak dzikir dalam arti berupaya menjalin hubungan kontinu dengan Allah. Selanjutnya memiliki sifat sabar dan tawakkal yang menggambarkan sosok pribadi tenang, penuh perhitungan, serta memiliki kesiapan menanggung resiko apapun juga. Sikap terakhir sebagai penyempurna adalah hijrah, sebagai buktikesungguhan dan keberanian untuk meninggalkan yang buruk dan memilih yang baik, sekalipun harus banyak korban.

            Keempat, Surat Al Mudatsir ayat 1-7. Dengan cita-cita dan kekuatan pribadi seperti yang diuraikan dalam surat Al Muzammil sebelumnya.tahapan selanjutnya yang harus dilalui adalah menyatukan berbagai potensi. Pertama, berupa pribadi-pribadi dengan kualitas yang setara. Penyeragaman kualitas perlu dilakukan agar langkah bisa serentak. Hal inilah yang disiratkan dalam surat Al Mudatsir ayat 1-7.

Dalam tahapan ini, selain umat Islam dituntut untuk bisa berorganisasi secara rapi, juga harus bisa mengajak kepada kebaikan, baik ke dalam maupun ke luar. Dengan adanya perintah untuk memberi peringatan, berarti seseorang diperintahkan untuk menyebarluskan dakwah tanpa batas. Tetapi ini semua baru bisa akan dilakukan denga sukses bila tahapan sejak pertama hingga ke tiga tetap bisa dipenuhi.

Dengan kata lain wahyu ke empat ini dapat dikatakan merupakan perintah untuk mendakwahkan Islam. Kehebatan Islam tidak boleh dinikmatio secara pribadi, tetapi harus didakwahkan kepada masyarakat secara luas. Kekuatan aqidah yang sudah tertanam dalam al alaq, kekuatan cita-cita yang diperoleh dari al qolam, kekuatan ruhiyah yang disadap dari pelaksanaan al Muzamil tidak akan banyak berarti tanpa tampil mengambil peran mendakwahkan dan memperjuangkan agama Islam. Maka dalam wahyu ke empat ini Allah memerintahkan agar seorang mukmin tampil ke gelanggang memberikan peringatan kepada manusia. Mengagungkan asma Allah dalam ucapan maupun dalam karya nyata, mensucikan diri dan lingkungan sekitar dari perbuatan maksiat, meninggalkan segala perbuatan dosa, tidak memberi dengan maksud memperoleh imbalan yang lebih banyak, dam bersabar atas ketetapan tuhan.

Kelima, surat al fatihah ayat 1-7. Tahapan al fatihah merupakan tahapan terakhir  dari lima tingkatan yang harus dilalui oleh setiap orang yang ingin berislam secara sempurna menurut versi pesantren Hidayatullah yang diambil dari keterangan Ibnu Abbas. Dengan memasuki tahapan ini, tersirat keberhasilan perjuangan yang telah mengarah pada terwujudnya masyarakat yang penuh dengan rahmat. Tetapi hal ini tergantung pada keputusan Allah, tidak bisa dipaksakan. Yang bisa dilakukan adalah upaya sabar dan istiqomah meniti jalan-Nya. Dan bila Allah berkenan karena melihat hamba-Nya memenuhi persyaratan dan kemampuan, maka kelanjutannya akan mudah saja.

Namun sebelumnya perlu ada pemuktian berupa prestasi-prestasi, bahkan hingga yang tidak masuk akal sekalipun. Ini tentu saja tidak ringan, sebagaimana perjalanan Nabi yang penuh dengan onak dan duri.

Bila prestasi dan kelebihan itu belum nampak, berarti ada yang kurang dari serangkaian perjalanan dari tahap ke tahap. Mungkin persyaratan pribadi yang belum terpenuhi. Atau ada anggota jam’ah yang masih  suka bikin dosa. Atau istri dan anggota keluarga masih belum mau mengenakan jilbabnya, dan sebagainya. Itu semua perlu dikoreksi, agar keberhasilan yang dicita-citakan bisa terwujudkan, dan umat Islam bisa mengelola dunia dengan kasih sayang sebagaimana tersirat dalam surat al fatihah.

Inti dari surat al fatihah adalah informasi utuh yang menggambarkan satu kesatuan ajaran Islam (unity of Islam). Klise tentang ajaran Islam yang kaffah itu dapat ditemukan dalam ayat-ayat surat al fatihah. Di dalam surat ini terdapat nilai-nilai dasar yaitu ; tauhid, baik tauhid uluhiyah, rububiyah, mulkyah, maupun tauhid asma wa sifat. Terdapat pula bab tentang ibadah dan do’a, petunjuk tentang jalan lurus dan jalan yang sesat dan sebagainya.

B.3. Urgensi Konsep Sistematika Nuzulnya Wahyu

Sistematika nuzulnya wahyu sebagai suatu konsep yang di aplikasikan di pesantren Hidayatullah merupakan manisfestasi ijtihadi yang dipelopori oleh Ustadz Abdullah said pendiri pesantren. Dijadikannya Konsep sitematika nuzulnya wahyu sebagai pedoman dalam mengembangkan dakwah Islam juga merupakan suatu tindakan yang didasari oleh pelajaran sejarah (historis learning) yang pernah dilakukan Rasulullah.

            Keberhasilan Rasulullah mendakwahkan Islam di bumi jazirah Arab 14 abad yang lalu, tidak lepas dari pedoman wahyu yang turun secara berurutan kepada beliau (tartibun nuzul). Banyak tantangan, cobaan, dan kecaman yang dihadapi Rasulullah dalam membawa ajaran Islam. Tapi berkat bimbingan wahyu yang beliau terima, segala tantangan dan intimidasi yang beliau hadapi dapat teratasi. Bahkan di tengah tantangan dan intimidasi tersebut tidak sedikit di antara mereka yang berbalik dan mendukung dakwah Rasulullah. Sukses ini semua disebabkan karena pola pendekatan dakwah yang dipraktekkan Rasulullah adalah merujuk pada sistematika nuzulnya wahyu.

            Sukses Rasulullah mendakwahkan Islam dengan pola pendekatan pada tata urutan turunya wahyu merupakan fenomena yang patut dijadikan rujukan bagi para aktivis dakwah, karena di dalamnya terdapat mutiara dari perjalanan dakwah beliau yang perlu digali. Disinilah letak pentingnya (urgensi) dari konsep sistematika nuzulnya wahyu khususnya bagi pemerhati dakwah Islam dan bagi siapa saja yang ingin melihat Islam ini jaya di muka bumi.

C. Kepribadian

C.1. Pengertian

Sebelum membahas lebih jauh tentang pengertian kepribadian itu sendiri, ada hal mendasar yang perlu diurakan terlebih dahulu, yaitu tentang jiwa manusia. Pada dasarnya jiwa manusia dapat dibedakan menjadi dua aspek yakni aspek kemampuan (ability) dan aspek kepribadian (personality). Aspek kemampuan meliputi ; prestasi belajar, intelegensia dan bakat. Aspek kepribadian meliputi ; watak, sifat, penyesuaian diri, minat, sikap dan motivasi. (Samsi Hartono, 1994 : 5)

Bahasan mengenai kepribadian telah dirumuskan oleh para ahli psikologi, dan rumusannya berbeda-beda satu dengan yang lain. George Kelly misalnya merumuskan kepribadian sebagai cara yang unik dari individu dalam mengartikan pengalaman-pengalaman hidupnya. Sedangkan Gordon Allport merumuskan kepribadian sebagai suatu organisasi yang dinamis dari sistem psikofisik individu yang menentukan tingkah laku dan pemikiran individu secara khas. Sementara itu Sigmun Freud memandang kepribadian sebagai suatu struktur yang terdiri dari tiga sistem, yakni ; ide, ego, dan super ego. Dan terakhir Poejawijatna menekankan bahwa kepribadian adalah kesatuan insani yang berbudi dan berkehendak yang menentukan tindakan manusia1.  

Batasan yang berbeda-beda tersebut di atas dapat diambil suatu kesimpulan bahwa kepribadian merupakan suatu organisasi yang hanya dimiliki oleh manusia yang menjadi penentu pemikiran dan tingkah lakunya. Setiap individu manusia memiliki kepribadian yang khas, berbeda dengan individu yang lain2.

C.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian

Dalam proses pembentukannya, kepribadian seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor genetik atau biologis, pengalaman-pengalaman sosial dan perubahan lingkungan. Menurut Geoghegan, lingkungan yang mempengaruhi kepribadian masih dirinci menjadi lingkungan prenatal atau lingkungan internal dan lingkungan postnatal atau lingkungan eksternal. Lingkungan  postnatal atau lingkungan eksternal inilah yang biasa disebut sebagai lingkungan dalam pengertian umum, yakni tempat seseorang berhubungan dengan dunia luar dirinya, yang lebih lanjut dapat dibedakan menjadi lingkungan fisik dan lingkungan sosial.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kepribadian seseorang dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan faktor lingkungan. Jika pembedaan lingkungan menjadi lingkungan fisif dan lingkungan sosial tersebut sesungguhnya didasarkan pada aspeknya, maka pembedaan lingkungan dapat pula dilakukan berdasarkan jenis lingkungannya.

Menurut jenisnya ditinjau dari berlangsungnya proses pendidikan, lingkungan dibedakan menjadi tiga bagian, yakni  lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat.

C.3. Teori-Teori Barat Tentang Kepribadian

Menurut Holzman dikutip A. Supratiknya (1995) menerangkan bahwa teori-teori tentang kepribadian yang tumbuh dari pengalaman budaya barat, secara agak kasar lazim dibedakan ke dalam tiga aliran besar berdasarkan pandangan falsafi tentang manusia yang melatarbelakangi.

            Yang pertama adalah teori-teori yang bertolak dari pengandaian bahwa manusia pada dasarnya dilahirkan dengan pribadi yang jahat. Tingkah laku manusia digerakkan oleh daya-daya yang bersifat negatif atau merusak dan tidak didasari, seperti kecemasan dan agresi atau permusuhan. Maka agar berkembang ke arah yang positif manusia membutuhkan cara-cara pendampingan yang bersifat inpersonal dan direktif atau mengarahkan. Contoh khas teori yang beraliran demikian adalah psikoanalisis klasik Sigmund Freud. Dalam sejarah psikologi aliran pemikiran yang agak pesimistik ini dikenal dengan sebutan mazhab pertama.

            Yang kedua adalah teori-teori yang bertolak dari pengandaian bahwa manusia pada dasarnya dilahirkan netral bagaikan “kertas putih”. Lingkunganlah yag akan menentukan arah perkembangan tingkah laku manusia lewat proses belajar. Artinya, perkembangan manusia bisa dikendalikan ke arah tertentu sebagaimana ditentukan oleh pihak luar (lingkungan) dengan kiat-kiat rekayasa yang bersifat impersonal dan direktif. Contoh khas pandangan ini adalah behaviorisme radikal B.F. Skinner. Dalam sejarah psikologi, aliran pemikiran yang deterministik ini disebut mazhab kedua.

            Yang ketiga, adalah teori-teori yang bertolak dari pengandaian bahwa manusia pada dasarnya dilahirkan baik. Tingkah laku manusia dengan sadar, bebas, dan bertanggung jawab dibimbing oleh daya-daya positif yang berasal dari dalam dirinya sendiri ke arah pemekaran seluruh potensi manusiawinya secara penuh. Agar berkembang ke arah yang positif, manusia tidak pertama-pertama membutuhkan pengarahan melainkan suasana dan pendampingan personal serba penuh penerimaan dan penghargaan demi mekarnya potensi positif yang melekat pada dirinya. Contoh khas pendirian teoritis semacam ini adalah teori humanistik Abraham Maslow dan Carl Rogers. Dalam sejarah psikologi, aliran pemikiran yang optimistik ini disebut Mazhab ketiga.

Ketiga mazhab filsafat tersebut memiliki implikasi yang berlainan dalam praktek pendekatan di berbagai bidang kehidupan sehari-hari seperti psikoterapi dan pendidikan.

C.4 Kepribadian Muslim

Sebelum diuraikan tentang kepribadian muslim secara luas perlu diketahui pengertian kepribadian muslim terlebih dahulu. Menurut A. Marimbah (1989 : 68) kepribadian muslim adalah kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya, yakni baik tingkah laku luarnya, kegiatan-kegiatan jiwanya, maupun falsafah hidupnya serta kepercayaannya menunjukkan pengabdian kepada Allah dan penyerahan diri kepadanya.

Adapun menurut Umar Sulaiman Al Asqar (1996) ia menguraikan tentang kepribadian seorang muslim dari masa ke masa, sejak adanya para nabi-nabi dan rasul-rasul dan pengikutnya sampai sekarang. Beliau mengelompokkan kepribadian seorang muslim menjadi beberapa bagian, yaitu kepribadian yang lurus (benar), kepribadian yang ternoda, kepribadian muslim sepanjang abad, bagian-bagian yang membentuk kepribadian muslim dan ciri-ciri kepribadian muslim.

Untuk lebih mengetahui lebih jauh pengetahuan tentang kepribadian muslim berikut ini akan dijelaskan ciri-ciri kepribadian muslim.

Ciri-ciri kepribadian muslim merupakan suatu tanda-tanda yang khas untuk bisa dipakai dalam mengenal atau mengetahui bahwa yang demikian itu dinamakan kepribadian muslim. Menurut Umar Sulaiman Al Asqar (1994 : 22) ciri-ciri kepribadian muslim antara la memiliki ; celupan didikan ketuhanan (sibghoh ilahiyah), bashiroh (kepekaan dan ketinajaman jiwa), kekuatan, berpegang teguh pada kebenaran, mujahadah (bersungguh-sungguh), tetap tabah atas kebenaran, kepuasan jiwa dan ketentraman hati, mengetahui tujuan hidup, dan kembali pada kebenaran.

Dari uraian tentang ciri-ciri kepribadian di atas dapat disimpulkan bahwa seorang muslim yang ideal itu adalah senantiasa memiliki karakteristik seperti yang diuraikan Umar Sulaiman Al Asqar. Dengan pribadi-pribadi yang memiliki konsep hidup yang jelas seorang muslim akan mampu tampil menjadi agen of change pada masa yang akan datang dengan membawa risalah tauhid.

D. Penutup

            Konsep sistematika nuzulnya wahyu seperti yang telah diuraikan pada pembahasan sebelumnya merupakan konsep (manhaj) yang diaplikasikan Rasulullah dalam membina dan membimbing para sahabat pada saat itu. Dengan konsep tersebut para sahabat yang sebelumnya memiliki karakter dan pribadi yang jauh dari etika morral dan akhlak yang baik, setelah mendapatkan binaan dan bimbingan dari Rasulullah karakter dan pribadi mereka berubah secara total. Perubahan ini tidak semata-mata kerena pembinaan yang diaplikasikan oleh Rasulullah dilakukan secara paksa maupun otoriter namun bentuk pembinaan beliau dilakukan lewat pendekatan kesadaran semata. Beraneka ragam kepribadian dan karakter yang dimiliki para sahabat sebelum mengenal islam merupakan fenomena yang ada dan tidak bisa dipungkiri.

            Urutan sistematika nuzulnya wahyu yang terdiri dari lima surat Al Quran yang turun pertama kali seperti yang diuraikan pada pembahasan sebelumnya memiliki kandungan pendidikan yang luar biasa dalam membentuk kepribadian para sahabat saat itu. Melihat kesuksesan tersebut Ust. Abdullah Said (alm) pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah banyak menguraikan dalam beberapa tulisan lepas maupun artikel dan kajian utama dalam majalah Syahid tentang urgensi dan pengaruh konsep sistematika nuzulnya wahyu dalam membentuk kepribadian muslim.

            Seorang muslim yang sudah memahami konsep sistematika nuzulnya wahyu dengan segala piranti yang terkandung di dalamnya, ia akan tampil dengan performan pribadi muslim yang khas, memiliki pribadi yang siapapun melihatnya akan nampak qurrotu a’yun pada sinar wajahnya, setiap saat tiada kata yang terucap kecuali kebaikan, tiada amal yang diperbuat kecuali keshalihan, tiada performance yang nampak kecuali keindahan.

            Bagian dari hasil pemahaman terhadap konsep sistematika nuzulnya wahyu adalah lahirnya sosok pribadi yang memahami syahadat dengan segala konsekwensinya. Bila syahadat telah dipahami secara baik, dapat dipastikan akan lahir pribadi-pribadi yang baru, dengan format dan model yang betul-betul gress. Dalam banyak hal ia akan banyak berbeda dengan pribadi lainnya (Ust. Abdullah Said, 1991 : 15). Dengan kata lain bahwa pribadi yang lahir dari pemahaman syahadat yang mantap akan tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Dia akan tampil dengan citra yang cukup mengesankan, mudah mendapat perhatian, meraih minat dan simpati. Kepeloporannya nampak nyata, ada saja prakarsa yang diambilnya. Karenanya pelan-pelan memaksa orang yang tadinya benci menjadi simpati, yang awalnya memusuhi kini menjadi pendukung utama.

            Disamping itu dengan mengacu pada konsep sistematika nuzulnya wahyu yang di dalamnya terkandung konsep hidup bagi setiap orang yang mengkajinya, akan membentuk kepribadian muslim dan melahirkan sosok pribadi yang memiliki keyakinan dan etos kerja keras di dalam menghadapi hidup.

            Demikian beberapa uraian dari pengaruh konsep sistematika nuzulnya wahyu dalam membentuk pribadi tangguh yang memiliki karakteristik yang khas. Artinya, seseorang yang sudah mendapatkan pembinaan dengan konsep tersebut akan tercermin dalam dirinya sosok pribadi muslim yang paripurna.

 

Daftar Pustaka

  1. Kartini Kartono, Dra. Kepribadian (Siapakah Saya ?), CV. Rajawali., Jakarta., cet.2, 1995
  2. Hamim Thohari, et.al, Panduan Berislam Paket 1. Departemen Dakwah dan Penyiaran Hidayatullah. Jakarta Cet. 1 2000.
  3. ………… Bundel Majalah Suara Hidayatullah, edisi ke-5, 1995
  4. Samsi Hartono, M.Pd. Dr. Pengantar Pengukuran Kepribadian, 11 Maret University, Surakarta, cet. 1, 1994
  5. Umar Sulaiman Al Asqar, Ciri-ciri Kepribadian Muslim, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet.2 1996
  6. Supratiknya A. editor, Teori-Teori Sifat dan Behavioristik, Kanisius, Yogyakarta, cet.2 1995
  7. Suharsono, dkk, Pola Transpormasi Islam, Inisiani Press, Jakarta, cet.1 1999
  8. Muhamad Qutb, Perlukah mengulang sejarah Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 1995
  9. Abdul Manan, SE, Membangun Islam Kaffah (Merujuk Pola Sistematika Nuzulnya Wahyu), Madina Pustaka, Bekasi, 1998

 



1 Hamim Thohari, Panduan Berislam Paket 1. Departemen Dakwah dan Penyiaran Hidayatullah. Cet. 1 2000. hal.17

2 Samsi Hartono, 1994 Ibid hal. 6

3 Ibid hal 7

Post a Comment

Previous Post Next Post