Strategi Implementasi Konsep Sistematika Wahyu Dalam Organisasi Hidayatullah

 


Strategi Implementasi

Konsep Sistematika Wahyu Dalam Organisasi Hidayatullah

Oleh : Mashud Sasaki

 

A.    Pendahuluan

Tulisan ini merupakan hasil field reseach dengan pendekatan kualitatif deskriptif fenomenologis yang dilakukan pada organisasi Hidayatullah. Berangkat dari pertanyaan bagaimana praktek manhaj SNW dalam berorganisasi di Hidayatullah menjadi salah satu Quation Reseach dari tulisan ini.

Pesantren Hidayatullah sebagai suatu organisasi sosial keagamaan yang kampus induknya berada di Balikpapan Kalimantan Timur merupakan organisasi yang lahir dari adanya pola interaksi sosial yang dilandasi atas nilai-nilai religi yang dimiliki oleh setiap individu. Dengan modal nilai-nilai religi inilah kemudian pesantren Hidayatullah sebagai organisasi sosial keagamaan lahir dan diakui masyarakat sebagai organisasi yang memiliki ciri khas tersendiri.

            Spesifikasi (kekhasan) pesantren ini terutama terletak pada konsistensinya yang kuat sebagai organisasi pondok pesantren “pencetak kader dakwah”  yang didasarkan pada filosofi perjalanan perjuangan Rasulullah dengan manhaj (metode) sistematika nuzulnya wahyu. Ide dan metode pembinaan ini merupakan kontinuitas dan pengembangan dari gagasan besar almarhum Abdullah Said selaku perintis dan pendiri pondok pesantren Hidayatullah3.

            Gagasan besar yang dimiliki Ust. Abdullah Said merupakan suatu ideologi yang lahir dari kajian mendalam beliau terhadap nilai-nilai ajaran Islam. Dalam kajian organisasi dikenal istilah indoktrinasi sasaran, yaitu informasi tentang ideologi untuk mengembangkan rasa misi. Maksudnya, misi organisasi haruslah dikomunikasikan kepada para anggota agar mereka dapat mengenal sasaran-sasaran organisasi. Sebagai kelanjutan dari rasional pekerjaan, informasi ideologi ini memungkinkan para anggota organisasi dapat memahami gambaran besar organisasi sehingga dapat bekerja lebih efektif. Mereka dapat mengembangkan rasa ikut memiliki organisasi (sense of belanzing to the organization)4.

            Dengan modal ideologi ini, Abdullah Said kemudian melakukan pembinaan secara personal (Interpersonal Communication) ke beberapa rekan beliau secara intens, dari hasil pembinaan tersebut kemudian melahirkan suatu kekuatan baru yang pada akhirnya dibentuklah pesantren Hidayatullah. 

            Tulisan ini merupakan bagian dari hasil elaborasi riset tentang pengembangan organisasi Hidayatullah. Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif deskriptif dengan memaparkan bahasa emiq (apa adanya dari narasumber) dan bahasa etik (bahasa elaborasi dari peneliti) dalam penulisannya.

 

B.     Perencanaan Strategi

Berbicara tentang perencanaan berarti membahas lebih jauh tentang hal-hal yang berkaitan dengan manajemen, karena perencanaan itu sendiri merupakan bagian dari unsur-unsur manajemen. Dalam membahas tentang konsep perencanaan strategi  disini akan dijelaskan beberapa hal tentang perumusan strategi, perencanaan tindakan, Implementasi, dan evaluasi[1].

Pertama, perumusan strategi. Tahapan manajemen strategik diawali dengan perumusan strategi. Perumusan strategi adalah proses memilih tindakan utama (strategi) untuk mewujudkan visi organisasi. Proses pengambilan keputusan untuk menetapkan strategi seolah merupakan sekuensi mulai dari penetapan visi-misi-tujuan jangka panjang – SWOT - strategi. Kenyataanya perumusan strategi dapat dimulai dari mana saja, bisa dimulai dari SW, OT atau bahkan dari strategi itu sendiri. Namun yang terpenting adalah bahwa pilihan strategi harus saling sesuai dengan peluang – Ancaman – yang ada. Kekuatan – kelemahan yang dimiliki dan tujuan (visi–misi-goal) yang ingin dicapai. Strategi dan kesesuaian dapat digambarkan sebagai berikut :

 

 

 

 

 


Gambar : 1

Untuk memudahkan penjelasan tentang beberapa hal di atas, strategi akan dirumuskan melalui tahapan utama sebagai berikut : 1). Analisis arah, yaitu untuk menentukan visi-misi tujuan jangka panjang yang ingin dicapai organisasi. 2). Analisis situasi, yaitu tahapan untuk membaca situasi dan menentukan kekuatan-kelemahan Peluang-ancaman yang akan menjadi dasar perumusan strategi. 3). Penerapan strategi, yaitu tahapan untuk identifikasi alternatif dan memilih strategi yang akan dijalankan oleh organisasi.

Kedua, Perencanaan tindakan. Langkah pertama untuk mengimplementasikan strategi yang telah ditetapkan adalah membuat perencanaan strategik. Inti dari apa yang ingin dilakukan pada tahapan ini adalah bagaimana membuat rencana pencapaian (sasaran) dan rencana kegiatan (program dan anggaran) yang benar-benar sesuai dengan arahan (visi-misi-goal) dan strategi yang telah ditetapkan organisasi. Program berisi tahapan-tahapan kegiatan yang merupakan urutan kegiatan yang perlu dilakukan untuk mencapai sasaran strategik (step by step sequence of actions). Sedangkan dalam rumusan anggaran berisi rencana kegiatan/program (biasanya tahunan) yang disertai taksiran sumberdaya yang diperlukan untuk menjalankan semua kegiatan yang direncanakan. Selain itu juga ditumjuk orang yang bertanggung jawab untuk melaksanakan rencana-rencana kegiatan.

Ketiga, implementasi. Untuk menjamin keberhasilan, strategi yang telah dirumuskan sebelumnya harus diwujudkan dalam tindakan implementasi yang cermat. Strategi dan unsur-unsur organisasi yang lain harus sesuai. Strategi harus tercermin pada rancangan struktur organisasi, budaya organisasi, kepemimpinan dan sistem pengelolaan SDM, salah satu diantaranya sistem imbalan.

Dan keempat, evaluasi. Karena strategi diimplementasikan dalam suatu lingkungan yang terus berubah, implementasi yang sukses menuntut pengendalian dan evaluasi pelaksanaan. Sehingga jika diperlukan dapat dilakukan tindakan-tindakan perbaikan yang tepat. 

           

C.    Konsep Pembinaan di Organisasi Hidayatullah

Dalam melakukan pembinaan kepada semua anggota organisasi atau jama’ah, Hidayatullah memiliki konsep atau pola dasar yang lahir dari ijtihad panjang pendirinya. Pembinaan yang dilakukan berangkat dari program pendidikan yang merupakan program unggulan dan prioritas program.

Sebagai pesantren, Hidayatullah  menjadikan pendidikan sebagai prioritas program. Hanya saja pesantren ini tidak sekedar lembaga pendidikan, maksudnya bukan sekedar sekolah pada umumnya yang tugas utamanya mentransfer ilmu kepada para santrinya, akan tetapi pesantren hidayatullah diharapkan menjadi embrio dari proses pembangunan Islam. Seluruh warga dan santri diantarkan untuk menyatukan iman, ilmu, sekaligus amal dalam kehidupan keseharian. Secara singkat dapat dikatakan, Hidayatullah adalah lembaga Islam, bukan sekadar lembaga pendidikan Islam.

            Sebagai lembaga Islam, visi dan misi Hidayatullah menjadi sangat luas. Lahan garapannya tidak sekedar santri yang berada di dalam asrama, tapi juga masyarakat umum. Cakupannya tidak hanya pendidikan agama, tapi juga menyentuh soal-soal ekonomi, politik, sosial, budaya, ilmu dan teknologi serta segala aspek kehidupan umat yang vital.

            Agar pengembangan misi ini tetap istiqomah, diperlukan pola dasar (konsep) sebagai acuan derap langkah perjuangan menuju pulau harapan. Konsep ini diilhami oleh tarbiyah Allah kepada Rasul-Nya, kemudian tarbiyah Rasul kepada para sahabat, berikut umatnya. Pola dasar inilah yang lebih dikenal dengan istilah Sistematika Nuzulnya Wahyu. Disebut demikian karena tahapan-tahapan pembinaannya didasarkan atas urutan-urutan turunnya wahyu kepada Rasulullah. Mulai dari surat al-Alaq, al-Qolam, al-Muzammil, al-Mudatsir, dan al-Fatihah. Berikut beberapa konsep pembinaan di lembaga Hidayatullah.

-          Menggugah Kesadaran Dengan Al Alaq

Ber-iqro’ (membaca) adalah perintah Allah yang pertama. Sebelum perintah shalat, puasa, zakat, Allah memerintahkan hamba-Nya agar membaca dan membaca. Membaca dalam cakupan iqro’ dapatlah diartikan seluas-luasnya, bukan hanya tekstual, karena mencakup pilihan jalan hidup. Disamping itu islam bukanlah dogma, melainkan konsep yang harus dihayati dengan kesadaran penuh. Islam tidak menghendaki umatnya menjalankan agamanya secara taqlid, membabi buta. Islam adalah agama kesadaran, addinu aqlun, laa diina liman laa aqla lahu. Agama adalah kesadaran, tidak sempurna agama seseorang yang tidak memiliki kesadaran.

Proses iqro’ itu diharapkan sampai pada kesadaran akan eksistensi Pencipta (al Kholiq) dan eksistensi manusia. Upaya manusia untuk mengenal Allah secara baik begitu pula mengenal dirinya dihadapan Allah akan melahirkan suatu sikap penyerahan diri secara total kepada Allah. Bahwa hidup ini adalah pengabdian hanya kepada Allah, lewat suatu pengakuan syahadat laa ilaaha illa llah. Selanjutnya ayat 4 dan 5 menyatakan bahwa Muhammad adalah manusia yang secara langsung dibimbing oleh Allah dengan diturunkan wahyu kepadanya. Karena itu ayat ini mengantarkan seseorang untuk bersyahadat dengan Muhammad Rasulullah.

-          Meniti Jalan Dengan Al Qolam

Setelah bersyahadat, tentunya cita-cita seseorang tiada lain kecuali menegakkan kalimatullah al-lya. Keinginannya adalah menyaksikan suatu kehidupan yang harmoni dalam tata aturan Allah. Karenanya perlu disiapkan metode untuk mencapai obsesi itu. Maka diturunkanlah konsep kedua sebagaimana tercakup dalam surat al-qolam ayat 1-7.

Yang ingin dicapai dari tahap ini adalah kuatnya keyakinan akan kebenaran laa ilaha illallohu. Ini perlu untuk memberikan kekuatan moral di tengah runyamnya kehidupan. Sebagaimana diketahui, pada masa ini suatu kebenaran bisa menjadi bahan olokan, sementara tindak kemungkaran justru diagung-agungkan.

Pernyataan bahwa pembawa kebenaran bukanlah termasuk kelompok orang gila dengan banyak pengertian- akan memberikan semangat juang yang luar biasa. Mereka tyang telah menghayatinya akan mendapatkan motivasi hingga rela mengorbankan apapun demi terwujudnya cita-cita menegakkan kalimat Allah.

-          Membentuk Watak dan Kepribadian Dengan Al Muzammil

Semua pekerjaan menuntut persyaratan pribadi. Untuk melanggengkan cita-cita menegakkan laa ilaha illallah perlu keutuhan dalam menampilokan diri sebagai seorang muslim sejati. Identitas ini bahkan harus mekekat di manapun berada, bukan hanya bila di muka umum.

Islam menyediakan konsep selanjutnya demi menjaga kualitas diri, yakni denga memotivasi ummatnya agar memperhatikan ibadahnya. Persyaratan inilah yang dituntut dalam tahapan selanjutnya sebagaimana terangkum dalam surah ketiga, Al Muzammil :

1-10, “Hai orang-orang  yang berselimut. Bangunlah di malam hari kecuali sedikit (dari padanya), yaitu setengah atau kurangilah setengah itu sedikit lagi, atau lebihkan dari padanya. Dan bacalah Qur’an dengan tartil. Sesungguhnya kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berbobot. Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan. Sesungguhnya kamu di waktu siang hari mempunyai urusan yang panjang (banyak). Dan sebutlah nama Tuhanmu dan beribdahlah kepada-Nya dengan penuh ketulusan. Dia-lah Tuhan timur dan barat, tiada yang patut disembah selain Dia, maka jadikanlah Dia sebagai pelindung. Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik”.  

Yang ditekankan dalam Al-Muzammil adalah shalat malam, sebagai ibadah tambahan. Hal ini menyiratkan asumsi bahwa ibadah-ibadah wajib dengan sendirinya sudah dilaksanakan. Shalat malam juga menjadi persyaratan akhlaq pejuang kebenaran karena dibalik itu Allah menjanjikan banyak kelebihan yang tidak akan dimiliki orang biasa.

Tuntutan kedua adalah memperbanyak membaca dan mempelajari al-Qur’an. Kemudian memperbanyak dzikir dalam arti berupaya menjalin hubungan kontinu dengan Allah SWT. Selanjutnya memiliki sikap sabar dan tawakkal, yang menggambarkan sosok pribadi tenang penuh perhitungan, serta memiliki kesiapan menanggung resiko apapun juga. Sikap terakhir sebagai penyempurna adalah hijrah, sebagai bukti kesungguhan dan keberanian untuk meninggalkan yang buruk dan memilih yang baik, sekalipun harus banyak berkorban.

-          Menyatukan Langkah Dengan Al Mudatsir

Dengan cita-cita dan kekuatan pribadi seperti yan diuraikan sebelumnya,  tahapan selanjutnya yang mesti dilalui adalah menyatukan berbagai potensi. Pertama berupa pribadi-pribadi dengan kualitas yang setara. Penyeragaman kualitas perlu dilakukan agar langkah bisa serentak. Inilah yang disiratkan dalam surat ke-empat, al-Mudatsir 1-7 :

“Hai orang-orang yang berselimut. Bangunlah lalu beri peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah, dan pakaianmu bersihkanlah. Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk memenuhi perintah Tuhanmu bersabarlah”.

 

Dalam tahapan ini, selain umat Islam dituntut bisa berorganisasi secara rapi, juga harus bisa mengajak kepada kebaikan, baik ke dalam maupun ke luar. Dengan adanya perintah untuk memberi peringatan, berarti seseorang dianjurkan untk menyebarluaskan dakwah tanpa batas. Tetapi ini semua baru akan bisa dilakukan dengan sukses bila persyaratan sejak tahapan pertama hingga ketiga tetap bisa dipenuhi.

-          Berislam Kaffah Dengan Al Fatihah

Dengan dimasukinya tahapan al-Fatihah, tersirat keberhasilan perjuangan yang telah mengarah pada terwujudnya masyarakat yang penuh dengan rahmat. Tapi hal ini bergantung pada keputusan Allah, tidak bisa dipaksakan. Yang bisa dilakukan hanyalah upaya, sabar, istiqomah meniti jalan-Nya. Dan bila Allah berkenan karena melihat hamba-Nya memenuhi persyaratan dan kemampuan, maka kelanjutannya akan mudah saja.

Namun sebelumnya perlu ada pembuktian kemampuan berupa prestasi-prestasi, bahkan hingga yang tidak masuk akal sekalipun. Ini tentu saja tidak ringan, sebagaimana perjalanan Nabi yang penuh onak dan duri. 

Bila prestasi dan kelebihan itu belum nampak, berarti ada yang kurang dari serangkaian perjalanan dari tahap ke tahap. Mungkin persyaratan pribadi masih belum terpenuhi. Atau ada anggota jama’ah yang masih suka bikin dosa, dan sebagainya. Itu semua perlu koreksi, agar keberhasilan yang dicita-citakan bisa terwujudkan, dan umat Islam bisa mengelola dunia dengan kasih sayang sebagaimana tersirat dalam satu surah, al-Fatihah :

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyanyang. Yang Menguasai hari pembalasan. Hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang Engkau anugrahkan nikmat kepada mereka dan bukan pula jalan mereka yang sesat”.

 

D.    Strategi Implementasi Konsep SNW Dalam Organisasi Hidayatullah

Dalam bahasan ini akan dipaparkan tentang Strategi Implementasi konsep SNW dalam organisasi Hidayatullah, berdasarkan data hasil analisis data kualitatif dan wawancara mendalam dengan informan berupa ungkapan dan cerita asli para informan yang terkait langsung dengan seluk beluk mengenai konsep dan strategi implementasi konsep SNW dalam organisasi Hidayatullah dan dilengkapi dengan berbagai data sekunder.

Deskripsi tersebut dikemukakan dengan gaya bertutur informal, mendetail, dalam bahasa dan mimik para informan.  Dari keseluruhan penuturan para informan tentang konsep dan strategi implementasi SNW dalam organisasi Hidayatullah akan diuraikan sebagai berikut.

-          Ajaran Islam Sebagai Konsep Berorganisasi

 Lingkungan pesantren dengan segala bentuk aktivitas sehari-hari yang diselimuti oleh kegiatan keagamaan akan membentuk pola pikir dan cara pandang bagi siapa saja yang tinggal di dalamnya termasuk cara pandang terhadap aturan organisasi. Apalagi dibarengi dengan adanya kajian-kajian keislaman, juga ceramah maupun taushiah yang sering disampaikan akan membentuk karakter tersendiri bagi siapa saja yang tinggal di dalamnya.

Demikian halnya dengan pesantren Hidayatullah tradisi seperti itu sudah berjalan sejak berdirinya sampai sekarang. Dan penekanan dari setiap aktivitas termasuk dalam hal aturan hidup berorganisasi di lingkungan pesantren Hidayatullah senantiasa merujuk pada ajaran Islam. Seperti penuturan Ust. Abdurrahman salah seorang informan.

“ …. Kehadiran organisasi Hidayatullah diharapkan atau ingin memberikan manfaat atau kontribusi positif terhadap pertumbuhan dan perkembangan masyarakat ini secara positif atas dasar prinsip-prinsip yang dibangun atas dasar ajaran Islam”.

 

Demikian halnya dengan perkembangan organisasi Hidayatullah, seperti yang disampaikan beliau berikut ini :

“Pertumbuhan dan perkembangan organisasi Hidayatullah tidak bisa lepas dari ajaran Islam itu sendiri, dimana dalam memahami Islam sebagai suatu ajaran untuk membangun masyarakat yang berperadaban tinggi, agung, kita mencoba untuk memilih suatu manhaj atau metodologi yang diyakini sebagai sebuah metodologi yang efektif untuk menumbuhkembangkan diri dan masyarakat. Jadi tidak bisa lepas dari sana”. Jika kita bertitik tolak dari ajaran islam itu sendiri dalam melakukan pembinaan terhadap santri, rumus untuk membangun masyarakat yang dinamis sebagaimana dicontohkan rasul dala al Qur’an surat al jumu’ah ayat 2 yang artinya :

 “Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan Hikmah (As Sunnah). Dan sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata”,

 

Pendapat ini juga dipertegas oleh informan berikutnya Ustadz Abdul Manan seperti penjelasan beliau berikut :

“ …. konsep, ide dasar, filosofi lahirnya lembaga ini tidak bisa lepas dari ajaran Islam itu sendiri. Apapun permasalahan yang kita hadapi dalam hidup ini, termasuk dalam hal berorganisasi kita harus merujuk pada ajaran Islam (back to Islam)”.

 

Uraian tersebut memberikan gambaran bahwa sesungguhnya dalam mengatur organisasi di lingkungan Hidayatullah konsep yang dijadikan panduan adalah ajaran Islam itu sendiri dengan sumber utamanya Al-Qur’an dan Al Hadits. Dari sumber al-Qur’an tersebut pesanten Hidayatullah dalam mendalami ajaran Islam dikenal istilah konsep sistematika nuzulnya wahyu. Konsep ini mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan ajaran Islam seorang muslim seharusnya meniru bagaimana rasulullah dulu menerima wahyu dan bagaimana mengamalkannya sesuai dengan urutan turunnya wahyu tersebut. 

-          Faktor Kepemimpinan / Imamah

Dalam mengatur organisasi di lingkungan Pesantren Hidayatullah, faktor pemimpin sangat besar pengaruhnya dalam menentukan aturan main organisasi (manajemen organisasi). Figur pimpinan yang memiliki banyak kelebihan seperti memiliki rohani (spiritual) yang baik, intelek, bermoral, dan kelebihan-kelebihan lain akan sangat berpengaruh dalam setiap langkah pertumbuhan organsiasi. Disamping itu dalam masalah kepemimpinan di hidayatullah dikenal istilah organisasi imamah jama’ah, seperti yang dijelaskan oleh ust. Abdurrahman berikut :

… dalam sebuah kebangkitan masyarakat harus ada sosok pemimpin yang memiliki kemauan kuat untuk merubah masyarakat tersebut dengan suatu konsep yang jelas sebagaimana yang digambarkan dalam al Qur’an surat al jumu’ah ayat 2. Kebangkitan sebuah masyarakat atau organisasi akan baik apabila seorang pemimpin itu mampu melakukan pencerahan spiritual, intelektual, moral, tilawah, tazkiah adalah sangat mendasar. Dari situ pribadi-pribadi yang ada dalam jama’ah itu memiliki kesamaan dalam berbagai hal, seperti idealisme, visi, misi dan orientasi hidup yang sama juga. Hal ini penting sekali sebagai suatu kultur hidup yang sama, mereka siap dalam satu kepemimpinan, organisasi imamah jama’ah ditata untuk melakukan sesuatu yang sama secara spiritual, moral dan intelektual melakukan kesadaran pribadi, jamaa’i, itu  penting sekali dari sini orang-orang diorganisasikan dalam suatu organisasi yang namanya ormas Hidayatullah”.

 

Pola kepemimpinan yang dibangun Al marhum Ustazd Abdullah Said tersebut dijadikan pedoman dalam membangun tradisi di semua cabang Hidayatullah yang sudah ada. Dengan kata lain sebagai tempat penyemaian untuk kemudian diduplikasi sebagaimana penjelasan beliau Ustadz Abdurrahman lebih lanjut.

“ Dari tempat penyemaian tersebut, karena kita mulai dari membina SDM, mulai dari adanya pemimpin yang mampu untuk membina jama’ah itu dalam bentuk wadah pesantren atau orsos. Dari sini sudah ada sosok kader yang taat pada pimpinannya, karena ada kesamaan visi misi dan idealisme itu besar maka melahirkan tanggung jawab yang besar juga. Setelah itu mereka siap melakukan pekerjaan apapun yang terkait dengan idealisme, sehingga ini yang membuat mereka taat untuk ditugaskan pada bidang apa saja dan dimana saja dan itu yang membuat Hidayatullah cepat untuk berkembang, tersebar dan melakukan sesuatu duplikasi daripada yang pernah dirasakan di tempat dimana ada instruktur, ada pembimbing yang bisa membimbing. Ini sebenarnya persoalan adanya pemimpin yang melakukan proses kaderisasi, itu yang bisa mempercepat langkah-langkah Hidayatullah untuk tersebar dimana-mana termasuk Surabaya yang membuat duplikasi pesantren di Jawa dan Nusa Tenggara.   

 

Penjelasan di atas ditambahkan oleh Ustadz Abdul Manan dengan memberikan istilah struktur imamah jama’ah dan konsep komando dalam mengatur organisasi di lingkungan Hidayatullah.

            “ … sejak berdirinya Hidayatullah panduan organisasi yang diterapkan adalah struktur imamah jama’ah, struktur ini tidak ubahnya struktur ular. Struktur ular itu adalah setelah kepala kemudian leher semua, jadi struktur pesantren Hidayatullah tatkala itu setelah pucuk pimpinan adalah semuanya anggota. Maa ba’dal imam ma’mum, setelah imam adalah ma’mum. Kemudian dalam hal memberikan tugas dan tanggung jawab konsep yang digunakan adalah sistem manajemen komando”.

 

Konsep kepemimpinan yang dibangun oleh pendiri Hidayatullah dapat dilihat dari penjelasan di atas, dan pada proses pertumbuhan dan perkembangannya pola tersebut dijadikan panduan sampai pada saat Hidayatullah berubah menjadi organisasi massa (Ormas).

Namun setelah pendiri pesantren wafat pola kepemimpinan dengan konsep strategi manajemen komando tidak berlaku lagi, karena para pelanjut beliau menyadari akan banyak kekurangan yang dimiliki maka konsep tersebut tidak digunakan lagi dan menggunakan konsep kepemimpinan one collective show bukan one man show seperti yang dijelaskan Ustadz Abdul Manan berikut.

“Pada masa awal atau generasi pertama kepemimpinan Hidayatulllah memang keberadaan beliau UAS (Ustadz Abdullah Said) sangat menonjol. Beliau adalah pendiri (father founding), perintis sehingga bisa dikatakan beliau sebagai ideolog. System komando masih kental dan orientasi figurnya juga sangat menonjol. Setelah beliau wafat kondisi seperti itu tidak bisa lagi kita lihat. Pola kepemimpinan yang dijalankan pada generasi kedua menggunakan pendekatan kepemimpinan kolektif. Artinya setiap ada keputusan atau kebijakan strategis selalu dilakukan dengan musyawarah mufakat terlebih dahulu.  Organisasi itu kan sama dengan organisme yang memiliki masa awal dalam pertumbuhannya, ia selalu bergantung pada induknya. Kemudian ketika induknya memiliki banyak anak tentunya anak-anaknya memiliki perbedaan dalam menindaklanjuti idealisme, orientasi hidup yang pernah diajarkan indukya. Hal inilah yang perlu difahami dalam melihat perkembangan organisasi hidayatullah”.

                                                                                                        

-          Islam sebagai ideologi organisasi

Organisasi Hidayatullah hadir dengan anggota yang memiliki modal pemahaman  agama yang kental, yaitu dengan adanya pemahaman Islam sebagai ideologi mereka dalam menempuh hidup ini baik susah maupun senang.

Islam itu sebagai basis yang mendorong orang tumbuh dan berkembangnya kreatifitas, jadi bukan berarti Qur’an dan sunnah tak sempurna, sangat sempurna dan memberikan dasar dalam pengembangan keberadaannya dalam bentuk pikiran itu. Oleh karena itu bisa berkembang secara sendiri, natural (alami) karena adanya kebutuhan yang mendasar, terus ada upaya-upaya sendiri sehingga menemukan teori-teori atau ilmu-ilmu atau menemukan cara-cara terbaik sehingga bila dibandingkan dengan teori yang disusun para fakar itu, saya katakana nyambung saja ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut walaupun gak semuanya, karena ada nilai-nilai yang kita miliki yang dikemas sesuai dengan situasi dan kondisi.   

-          Faktor Perubahan

Konsep komunikasi yang dibangun pendiri Hidayatullah tidak selamanya bisa diterapkan. Apa yang sudah berjalan pada masa kepemimpinan beliau tidak bisa sepenuhnya dijalankan oleh penerusnya, karena berbagai faktor yang sangat beragam.

Hal pertama yang perlu diingat bahwa setelah Ustadz Abdullah Said wafat tidak ada orang yang bisa mewakili sepenuhnya segala kemampuan beliau, inilah yang menjadi alasan utama perubahan dari orsos ke ormas. Yang kedua, perkembangan lembaga semakin meluas, aspek-aspeknya semakin kompleks, sehingga perlu adanya sistem yang bisa mengakomodasi tuntutan, keperluan dan perkembangan lembaga. Kalau dalam bentuk orsos belum tentu bisa seperti itu.

Lebih jauh Ustadz Abdul Manan menjelaskan tentang pengaruh perubahan struktur kepemimpinan di lingkungan Hidayatullah sebagai berikut.

“Menset-up sebuah sistem nasional tidak mudah, perlu waktu, ada masa transisi. Dan perubahan struktural memang cepat dan perubahan kultural lambat. Jadi untuk melaksanakan sistem yang baru ini butuh waktu dan memang cukup berat karena masih banyak kendala di lapangan. Misalnya, masih adanya konflik lokal maupun konflik-konflik kecil di semua elemen organisasi yang ada. Dengan kata lain perkembangan Hidayatullah masih dalam masa transisi sampai saat ini”.

 

Dalam melakukan pengembangan organisasi pada masa kepemimpinan Ustadz Abdullah Said salah  satu strategi yang dilakukan sebagai efek dari pengembangan organisasi  adalah pengiriman da’i ke berbagai daerah di seluruh pelosok tanah air. Namun hal ini tidak sepenuhnya bisa dilaksanakan pada masa kepemimpinan Ustadz Abdurrahman Muhammad, karena situasi dan kondisi sudah berubah.

“ …… Kegiatan seperti itu tidak bisa sepenuhnya bisa dilakukan karena tuntutan organisasi sudah berubah, kegiatan tersebut masih berjalan tapi mekanismenya berbeda sesuai dengan kebutuhan. Yang menangani program ini adalah departemen SDM di struktur DPP yang mengatur manajemen penugasan daerah”.

 

Dari uraian informan tersebut dapat dijelaskan bahwa dalam melakukan aktivitas kerja di organisasi, konsep dan strategi yang diterapkan adalah berpedoman pada konsep sistematika wahyu yang terakumulasi dalam beberapa aspek, mulai dari pemahaman tentang ajaran Islam, kepemimpinan (imamah wal jama’ah), Islam sebagai ideologi organisasi, dan faktor perubahan organisasi.

            Keempat aspek tersebut memberikan pengaruh yang signifikan dalam menentukan arah pengembangan organisasi, karena masing-masing aspek memiliki substansi yang berbeda dan saling mendukung. Sehingga dapat dikatakan sebagai satu kesatuan atau sistem yang menentukan perkembangan organisasi yang sudah berjalan.

Khatimah

Kesimpulan merupakan suatu sintesis dari pembahasan hasil penelitian, paling sedikit harus mengandung jawaban terhadap permasalahan penelitian dalam bentuk temuan penelitian berupa konsep atau teori serta kemungkinan pengembangannya di masa yang akan datang. Adapun kesimpulan dari bagaimana strategi implementasi konsep SNW dalam organisasi Hidayatullah dapat diuraikan sebagai berikut :

Pertama, konsep yang diterapkan dalam proses organisasi di lingkungan pesantren Hidayatullah adalah menerapkan konsep yang didasari oleh pemahaman ajaran Islam yang menghasilkan cara pandang bahwa dalam menentukan arah organisasi nilai-nilai yang terkandung dalam semua unsur komunikasi didasari oleh ideologi tauhid yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dikenal dengan konsep sistematika nuzulnya wahyu. Konsep ini diilhami oleh tarbiyah Allah kepada Rasul-Nya, kemudian tarbiyah Rasul kepada para sahabat, berikut umatnya. Disebut demikian karena tahapan-tahapan pembinaannya didasarkan atas urutan-urutan turunnya wahyu kepada Rasulullah mulai dari surat al-Alaq, al-Qolam, al-Muzammil, al-Mudatsir, dan al-Fatihah. Konsep inilah yang melandasi semua aktifitas perilaku individu dan kelompok dalam organisasi Hidayatullah.

Kedua, strategi yang diterapkan dalam organisasi adalah manajemen komando imamah jama’ah yang dalam aplikasinya menggunakan doktrin ideolog tauhid sebagai falsafah dan ta’at serta patuh pada imam sebagai doktrin operasional. Manajemen komando imamah jama’ah mengandung pengertian bahwa dalam proses kepemimpinan menggunakan pendekatan analogi imam dan makmum dalam sholat. Artinya apapun yang dilakukan imam selama itu tidak menyalahi aturan yang telah digariskan dalam ajaran Islam maka makmum harus mengikutinya.  Pola manajemen inilah yang sangat membantu proses pengembangan organisasi di lingkungan Pesantren Hidayatullah sehingga dapat mencapai hasil yang diharapkan.

Ketiga, dalam tataran pelaksanaan manajerial organisasi faktor esoteris sangat berpengaruh dan menjadi determinator faktor eksoteris. Factor esoteris adalah prinsip sedangkan eksoteris adalah manifestasi. Artinya dalam pelaksanaan manajerial organisasi di lapangan, prinsip-prinsip ideologi tauhid yang dipegang oleh setiap individu yang ada di lembaga Hidayatullah dan dijadikan pedoman dalam melaksanakan semua aktivitas keorganisasian.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Agustinus Sri Wahyuni, 1996. Manajemen Strategik (Pengantar proses berpikir Strategik), Binarupa Aksara, Jakarta, cet. 1

 

Aji, Firman B. 1990. Perencanaan dan Evaluasi (Suatu Sistem Untuk Proyek Pembangunan),  Bumi Aksara, Jakarta, cet. 3

 

Alex S. Nitisemito, 1989. Manajemen Suatu Dasar dan Pengantar, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet.1

 

Barry Cushway and Derej Logde, 1995. Organisational Behavior and Design, (Perilaku dan Desain organisasi) alih bahasa, Sularno Tjiptowardojo, Jakarta. PT. Elex Media Komputindo,

 

Beckhard, Richard. Alih Bahasa Ali Saifullah. 1981. Pengembangan Organisasi (Strategi dan Model). Penerbit Usaha Nasional. Surabaya.

 

Dedy Mulyana., 2003. Metode Penelitian Kualitatif., cet. 3 Bandung. PT. Rosda Karya,

 

Eddy C.Y. Kuo (et.al), 1994. Communication Policy and planing in Singapura, 1983. cet. 1 diterjemahkan dengan judul “Kebijakan dan Perencanaan Komunikasi ; Pengalaman Singapura, penerjemah Nirwono, Jakarta, LP3ES

 

Efendi, Onong Uchjana, 2004. Dinamika Komunikasi. PT. Remaja Rosda Karya Bandung, cet. 6. Bandung.

 

Hamidi. 2004. Metode Pnelitian Kualitatif (Aplikasi Praktis Pembuatan Proposal dan Laporan Penelitian). cet.2. Malang. UMM Press.

 

Hamijoyo, Santoso S. 2005. Hand Out Mata Kuliah Perencanaan Komunikasi, Program Pasca Sarjana Unitomo Surabaya

 

------------------------. 2005. Komunikasi Partisipatoris (Pemikiran dan Implementasi Komunikasi dalam Pengembangan Masyarakat. Editor. Asep. S. Muhtadi. Penerbit humaniora. Cet.1. Bandung.

 

 

Hasil penelitian IAIN Antasari dan Litbang Depag, Hidayatullah “Sarang Teroris”? Pustaka Inti, Jakarta, 2004

 

Indriyo G. et.al. 2000. Perilaku Keorganisasian cet.2   BPFE, Yogyakarta

 

KBBI, 2002. Departemen Pendidikan Nasional, Balai Pustaka, Jkt. Edisi. III

 

Liliweri, Alo,. 2004.  Wacana Komunikasi Organisasi. Penerbit Mandar Maju Bandung. Cet. 1. Bandung.

 

Little John SW. 1996.  Theoris of Human Communicaion. Fifth edition. New York. Wadsworth Publishing Company.

 

M.T.Myers & G.E. Myers,  1987. Teori-Teori Manajemen Komunikasi, alih bahasa ;  A. Hasymi Ali, cet.1 Jakarta. Bahana Aksa,

 

Manan, Abdul,  2000. Rekayasa Ulang Budaya Organisasi Dakwah, Madina Pustaka, Jakarta

 

------------------------, 1998. Membangun Islam Kaffah (Merujuk Pola Sistematika Nuzulnya Wahyu), Madina Pustaka, Jakarta

 

------------------------, 2000. Pesantren Hidayatullah Kini dan Esok, Madina Pustaka, Jakarta

 

------------------------. 2005. Strategi Pemenangan Dakwah, MC Publishing, Jakarta,

 

Middleton, John. Approaches to Communication Planning, Paris. Unesco

 

Moekijat, 2005. Pengembangan Organisasi. Penerbit PT. Mandar Maju. Cet. 5 Bandung.

 

Panuju, Redi. 2000. Komunikasi Bisnis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Cet. 2. Jakarta.

 

R. Wayne Pace dan Don F. Faules, Deddy Mulyana, (Ed.) 2002. Komunikasi  Organisasi (Strategi Meningkatkan Kinerja Perusahaan), cet.4. Bandung, Remaja Rosdakarya,

 

Rakhmat, Jalaludin., 2000. Metode Penelitian Komunikasi, PT. Rosda Karya Bandung. cet. 8. Kota Bandung

 

Salim, Peter dkk. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kontenporer, edisi pertama, Jakarta

 

Siswanto, Bedjo, Drs. Manajemen Modern (Konsep dan Aplikasi). Penerbit Sinar cet. 1. Bandung.  1990

 

Tanri Abeng (et.al), 1987. Manajemen Dalam Perspektif, LMP2M (Lembaga Manajemen Penelitian dan Pengabdian Masyarakat) BPFE – Yogyakarta, cet.1

 

Tripomo, Tedjo, Et. al . 2005. Manajemen Strategi. Penerbit Rekayasa Sains Bandung. Bandung. Cet. 1.

 

Widjaya, A.W. 1987. Perencanaan Sebagai Fungsi Manajemen ; PT. Bina Aksara,

 

 

 

 



3 Hasil penelitian IAIN Antasari dan Litbang Depag, Pustaka Inti, Jakarta, 2004 hal.3

4 M.T. Myers & G.E. Myers, Teori-teori Manajemen Komunikai, Bahana Aksa, cet.1. 1987, hal. 37-38

[1] Tripomo, Tedjo, Et. al . 2005. Manajemen Strategi. Penerbit Rekayasa Sains Bandung. Bandung. Cet. 1.

 

Post a Comment

Previous Post Next Post