ELABORASI METODE ILMU DAKWAH DALAM MANHAJ GERAKAN DAKWAH HIDAYATULLAH

 



ELABORASI  METODE ILMU DAKWAH  DALAM MANHAJ GERAKAN DAKWAH HIDAYATULLAH 

Mashud 

Abstrak

Kajian tentang dakwah dan ruang lingkupnya cukup variatif dan banyak, namun kajian tentang keilmuan dakwah berbasis tartib nuzulnya wahyu masih terbatas. Hal ini menjadi salah satu alasan kajian ini dilakukan.

Tujuan penelitian ini adalah ingin menemukan elaborasi baru tentang bangunan kajian keilmuan dakwah berbasis tartib nuzulnya wahyu yang merupakan manhaj gerakan dakwah yang dilakukan Pesantren Hidayatullah di Indonesia. Sebelum memperoleh hasil penelitian dilakukan kajian awal tentang elaborasi metode ilmu dakwah dan kajian tentang manhaj nubuwah yang merupakan pijakan untuk menemukan elaborasi baru tentang metode ilmu dakwah dalam manhaj gerakan dakwah Hidayatullah (konsep sistematika wahyu). Metode yang digunakan adalah library research atau kajian kepustakaan. Yaitu dengan mengkaji beberapa buku panduan atau pedoman yang digunakan Pesantren Hidayatullah dalam melakukan kegiatan dakwah dan berorganisasi.

Dari kajian penelitian ini diperoleh hasil yang memiliki implikasi teoritis maupun praktis bagi pengembangan keilmuan dakwah maupun bagi pengayaan metode dakwah bagi praktisi dakwah baik secara individu maupun kelembagaan.

 

Kata Kunci : Elaborasi, Metode Ilmu Dakwah, Gerakan Dakwah, Hidayatullah

                                                                                         

Pendahuluan

Rasulullah SAW hadir di muka bumi ini dalam rangka membawa ajaran Islam. Sejak pertama kali Islam datang sebagai pedoman hidup bagi umat manusia, sejak saat itu pula aktifitas dakwah dilakukan. Dengan aktifitas dakwah, Islam bisa dilestarikan dan dikembangkan dari masa ke masa sampai era globalisasi dan revolusi industri 4.0 saat ini. Lebih jauh, Islam dikenal sebagai agama dakwah yaitu agama yang mengajak dan memerintahkan umatnya untuk selalu menyebarkan dan menyiarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. Untuk mengembangkan pola, strategi, metode dan media dakwah perlu dilakukan kajian mendalam tentang landasan filosofis keilmuan dakwah Islam.

Dalam kajian keilmuan dakwah, bahasan ini disebut dengan filsafat dakwah, yang cakupannya mengkaji hal-hal mendalam yang tidak dikaji dalam keilmuan dakwah. Sedangkan Ilmu dakwah ruang lingkup kajiannya dalam hal-hal yang bersifat empirik, dan manfaatnya lebih mengarah pada menjawab berbagai persoalan konsep dalam kajian keilmuan dakwah maupun dalam kegiatan dakwah di masyarakat. Hal ini menjadikan kajian ilmu dakwah memiliki ruang lingkup yang cukup luas untuk dikaji dan dikembangkan, baik aspek ontologi, epistemologi, maupun aksiologinya dari berbagai perspektif keilmuan.

Melihat ruang lingkup kajian ilmu dakwah yang luas tersebut dalam penelitian ini akan dibatasi pada kajian metode keilmuan dakwah dalam tartib nuzul wahyu telaah konsep sistematika wahyu yang merupakan konsep gerakan dakwah Hidayatullah di Indonesia. Munculnya kajian ini merupakan salah satu upaya untuk memberikan khazanah baru dalam kajian filsafat dakwah dalam aspek epistemology keilmuan dakwah. Kajian epistemology ilmu dakwah yaitu berusaha untuk menggali, merumuskan dan mengembangkan teori-teori dakwah atau cara kerja untuk memahami objek kajian ilmu dakwah. Hal ini sejalan dengan tujuan ilmu dakwah, yaitu untuk menggali sebanyak mungkin teori-teori yang berkaitan dengan aktivitas dakwah Islam.

Dalam perkembangannya, keilmuan dakwah dikenal beragam kajian tentang dakwah lainnya seperti psikologi dakwah, sejarah dakwah, komunikasi dakwah, fiqh dakwah, ilmu dakwah dan lain-lain. Namun dapat dikatakan bahwa kajian tentang ilmu dakwah yang berhubungan dengan dakwah manhaj nubuwah masih sangat minim, apalagi kajian tentang metode keilmuan dakwah dalam manhaj nubuwah telaah konsep sistematika wahyu. Bila dikaji lebih mendalam bahasan ini merupakan salah satu kajian pemikiran dakwah Islam yang perlu digali dan dikembangkan.

Sementara itu kajian tentang konsep sistematika wahyu yang merupakan derivasi dari kajian manhaj nubuwah merupakan kajian yang belum banyak disentuh oleh kajian keilmuan, terutama keilmuan dakwah. Konsep ini merupakan istilah yang dikembangkan oleh Pesantren Hidayatullah di Indonesia dalam melakukan aktifitas dakwah di masyarakat.

Munculnya istilah konsep sistematika wahyu yang disingkat SW yang merupakan salah satu kajian dalam manhaj nubuwah dipopulerkan pertama kali oleh pendiri Pesantren Hidayatullah pada era 1970-an. Konsep ini dijadikan sebagai model pedoman atau metode dalam mendakwahkan Islam di lingkungan Pesantren Hidayatullah.

Fenomena inilah menjadi salah satu latar belakang kenapa penulis ingin melakukan penelitian lebih jauh tentang metode ilmu dakwah dalam manhaj nubuwah telaah konsep sistematika wahyu. Menurut hemat penulis penelitian ini diharapkan memberikan paradigma baru tentang keilmuan dakwah karena akan digali dari segi historis (sejarah) bagaimana Rasulullah memperagakan dakwah pada saat itu lalu bagaimana peragaan dakwah pada masa berikutnya sampai sekarang.

Kalau digali sejarah keberhasilan dakwah Rasulullah selama 23 (dua puluh tiga) tahun, yang dibagi menjadi dua fase yaitu fase Makkah dan fase Madinah, maka bisa ditemukan suatu konsep atau manhaj yang dikenal dengan istilah manhaj nubuwwah. Membahas tentang manhaj nubuwwah memang cukup luas kajiannya, namun disini akan dibahas atau dikaji tentang dakwah Rasulullah dan keberhasilannya yang didasari panduan wahyu.

Walaupun dalam beberapa literatur tentang sejarah dakwah telah dibahas tentang dakwah Rasulullah, namun sebatas pengetahuan peneliti belum ada satu bahasan tentang tahapan dakwah Rasulullah yang dibimbing langsung melalui wahyu, sesuai dengan tata urutan turunnya wahyu atau ala tartiibi nuzuulil wahyi. Hal ini bagi penulis, yang belum dijadikan sebagai kerangka berfikir oleh para ilmuan dakwah dalam menggali dan mengembangkan keilmuan dakwah. Padahal kajian ini merupakan salah satu ruang kajian pemikiran Islam khususnya di bidang epistemologi ilmu dakwah yang perlu diteliti, dikembangkan dan diseminasi..

Berdasarkan berbagai uraian sebelumnya yang berhubungan dengan fenomena kajian ilmu dakwah dan manhaj nubuwwah mengantarkan penulis untuk memberikan alternatif paradigma baru tentang kajian ilmu dakwah yang merupakan bagian dari khazanah pemikiran Islam yang menarik untuk dikaji lebih jauh. Dari latar belakang ini akhirnya perlu dilakukan sebuah penelitian tentang elaborasi metode ilmu dakwah dalam manhaj nubuwwah telaah konsep sistematika wahyu yang merupakan manhaj gerakan dakwah Hidayatullah.

Berdasakan uraian sebelumya penelitian ini bertujuan untuk menemukan beberapa hal baru yaitu pertama, untuk mengetahui elaborasi metode ilmu dakwah, kedua; untuk mengetahui manhaj gerakan dakwah Hidayatullah (konsep sistematika wahyu), dan ketiga untuk mengetahui elaborasi metode ilmu dakwah dalam konsep gerakan dakwah Hidayatullah telaah manhaj sistematika wahyu.

            Adapun manfaat dari penelitian ini diharapkan  pertama, untuk pengembangan dan memperkaya khazanah keilmuan dakwah khususnya tentang kajian metode ilmu dakwah. Kedua, mengkaji dan memunculkan kembali kiprah dakwah Rasulullah yang dibangun atas dasar manhaj nubuwah dengan pedoman tartib nuzul wahyu dan ketiga menemukan perspektif baru tentang metode ilmu dakwah dalam manhaj nubuwah.

 

Metode Penelitian

            Sesuai dengan tema yang diangkat, maka jenis penelitian ini adalah studi deskriptif kualitatif dengan pendekatan induktif dan konsentrasi kajian kepustakaan (library research). Maksudnya data-data yang berkaitan dengan  obyek penelitian diambil dari bahan-bahan kepustakaan. Bahan kepustakan diambil dari bahan cetakan baik berupa buku atau jurnal dan  dari perpustakaan elektronik seperti maktabah syamilah. Penulis juga melakukan internet research.

            Inti permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah mengungkap dan mengkaji tentang elaborasi metode ilmu dakwah dalam manhaj nubuwah telaah konsep sitematika nuzulnya wahyu. Dalam melakukan pencarian sumber data, dalam penelitian ini akan dilakukan dengan dua pendekatan sebagai berikut.

            Sumber primer yang digunakan adalah semua buku yang membahas tentang kajian metode ilmu dakwah dan manhaj nubuwah. Sumber sekunder  yang digunakan dalam penelitian ini adalah buku-buku tentang dakwah dan ilmu dakwah dari berbagai sudut pandang, serta buku-buku manhaj nubuwah, ulumul Qur’an dan Tafsir, Ulumul Hadist, Siroh nabawi, dan buku-buku lain yang relevan. 

            Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan deskriptif kualitatif.[1] Dengan pendekatan ini penulis mencoba mendiskripsikan berdasarkan data-data kualitatif tentang pemikiran dakwah Islam lebih jauh tentang kajian metode ilmu dakwah dari berbagai buku atau pemikiran para tokoh ilmuan Islam. Berikutnya data-data kualitatif tentang manhaj nubuwah khususnya kajian manhaj sistematika wahyu.

            Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara survey kepustakaan dan studi literatur. Yaitu penulis menghimpun data-data dalam bentuk literatur dari perpustakaan atau sumber lain ke dalam sebuah daftar bahan pustaka kemudian meneliti, mengkaji dan menganalisis bahan pustaka yang berkaitan dengan pembahasan penelitian, selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan pembahasan bab.

            Teknik analisa data menggunakan metode content analysis yaitu penulis menganalisis data-data yang terkumpul kemudian membuat kategorisasi selanjutnya menangkap makna dan elaborasi dari kajian tentang metode ilmu dakwah dalam manhaj nubuwah telaah konsep sistematika wahyu kemudian menginterpretasikannya.

 

Metode Ilmu Dakwah

Disiplin ilmu biasanya dibuktikan juga dengan aspek keilmiahannya dengan metode keilmuan yang dimilikinya. Metode sering diartikan sebagai kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos dalam bahasa diartikan cara atau jalan. Dalam kaitan dengan kegiatan keilmuan, maka metode mengandung arti cara kerja atau langkah kerja untuk mengembangkan ilmu tersebut atau memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Sehubungan dengan itu, maka setiap cabang ilmu mengembangkan metodologinya (pengetahuan tentang cara kerja) yang disesuaikan dengan objek studi ilmu-ilmu yang bersangkutan.

            Dengan demikian metode ilmu dakwah adalah cara kerja yang ditempuh ilmu dakwah dalam menggali, merumuskan dan mengembangkan teori-teori dakwah atau cara kerja untuk memahami objek kajian ilmu dakwah. Hal ini sejalan dengan tujuan ilmu dakwah, yaitu untuk menggali sebanyak mungkin teori-teori yang berkaitan dengan aktivitas dakwah Islam. Untuk menggalinya diperlukan langkah kerja yaitu metode ilmu dakwah, dengannya akan dapat memahami hakikat dakwah dan mengembangkan ilmu dakwah menjadi sebuah disiplin ilmu yang besar dan mapan.[2]

            Perkembangan kajian metode ilmu dakwah melahirkan dua pandangan ilmuan, yaitu menurut Amrullah Ahmad dan menurut Syukriadi Sambas[3]. Secara garis besar ruang lingkup metode ilmu dakwah menurut Amrullah Ahmad meliputi; pertama pendekatan analisa sistem dakwah, kedua metode historis, ketiga reflektif, keempat metode dakwah partisipatif, dan kelima riset kecendrungan gerakan dakwah[4].

Penjelasannya sebagai berikut; pertama, pendekatan analisa sistem dakwah, dengan pendekatan ini masalah-masalah dakwah yang kompleks dapat dirumuskan, proses dakwah dapat diketahui alurnya, hasil-hasil dakwah dapat diukur dan dianalisa, umpan balik kegiatan dakwah dapat dinilai dan fungsi dakwah terhadap sistem kemasyarakatan (lingkungan) dapat diketahui dan dianalisa. Demikian juga dampak perubahan dari sistem politik terhadap sistem dakwah dapat di-identifikasi secara jelas. Oleh karena itu metode ini tepat sekali untuk pengembangan konsep dan teori dakwah dalam rangka pengembangan keilmuan dakwah. Sedangkan secara praktis metode ini sangat bermanfaat bagi perumusan kebijakan dan program dakwah Islam.

Kedua, metode historis digunakan untuk melihat dakwah dalam perspektif waktu; kemarin (masa lampau), kini dan yang akan datang. Caranya adalah dengan menggunakan pendekatan subjek dan teritorial. Pendekatan subjek diterapkan dengan cara melihat semua unsur dalam sistem dakwah dalam perspektif waktu dan dibarengi dengan penjelasan tempat dimana kejadiannya. Dengan cara yang demikian fenomena dakwah dapat dipotret secara konprehensif dan utuh.

Ketiga, metode reflektif, dalam hal ini bangunan logisnya; refleksi pandangan dunia tauhid (sebagai paradigma) ke dalam prinsip epistemologis, kemudian refleksi epistemologis ke dalam penyusunan wawasan teoritik dan refleksi teoritik ke dalam proses pemahaman fakta dakwah. Kegiatan reflektif ini sekaligus merupakan proses verifikasi atas prinsip-prinsip serta serta konsep-konsep dasar dakwah. Hasil kajian atas fakta dakwah yang dipandu dengan wawasan teoritik degeneralisir dalam rangka mengabtraksikan temuan-temuan dalam fakta dakwah dalam bentuk kerangka teoritik tentang dakwah sesuai dengan spesifikasi dan lingkup objek yang dikaji. Hasilnya boleh jadi memperkuat wawasan teori yang ada atau mervisi wawasan teori atau bahkan menggugurkan teori yang ada.

Ke-empat, metode riset dakwah partisipatif. Objek kajian dakwah tidak hanya memiliki sifat masa lalu, tapi juga –bahkan lebih banyak- bersifat masa kini dan yang akan datang. Karena itu dakwah merupakan fenomena aktual yang berinteraksi dengan aneka ragam sistem kemasyarakatan, sains, dan teknologi. Setiap masalah dakwah tidak bisa dikaji secara menyendiri dan dinetralisir kajiannya dengan aspek masalah lainnya. Hal ini karena masalah dakwah bersifat multi dimensi dan selalu bersentuhan dengan aneka realitas. Untuk keperluan pemahaman sifat objek kajian yang demikian, maka sangat diperlukan pendekatan empiris. Al- Qur’an ternyata berulangkali memerintahkan supaya manusia meneliti secara empiris fenomena alam termasuk fenomena yang ada pada diri manusia dan sejarah. Bahkan perintah pertama Allah SWT yang disampaikan kepada nabi Muhammad SAW adalah supaya membaca (memahami) ayat-ayat kauniyah. Sebab perintah iqro’ tidak menyebut obyeknya secara khusus, dan nabi Muhammad SAW sendiri ketika itu tidak sedang menghadap tulisan, disamping beliau adalah umi.

Pendekatan empiris yang digunakan dalam memahami fakta dakwah yang relatif tepat adalah riset dakwah partisipatif (RDP). Karakteristik metode ini adalah ; pertama, peneliti tidak mengambil jarak dengan objek, karena itu peneliti berperilaku sebagai da’i yang menempatkan mad’u bukan objek yang diteliti tetapi sebagai mitra dakwah yang dimotivasi memahi kondisi diri dan lingkungan sosialnya kaitannya dengan pengamalan Islam dan pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kedua, mad’u yang sudah melibatkan diri mengorganisir dirinya dalam jama’ah dakwah yang merepresentasikan masyarakat lingkungannya. Ketiga, ada kesepaktan bersama antara antara da’i (peneliti) dengan jama’ah untuk secara bersama-sama hendak memahami masalah dakwah yang ada dan dituangkan dalam desain penelitian bersama, merumuskan masalah yang ditemukan, mendeteksi potensi kreatif dan alam yang ada, menyusun model pemecahan masalah serta pengembangan potensi dalam perspektif dakwah yang dituangkan dalam program dakwah dan bersepakat untuk melaksanakan program dakwah yang disusun secara berjama’ah. Ke-empat, dalam pelaksanaan penelitian, analisa data sampai merumuskan temuan-temuan dilaksanakan secara bersama. Kelima, hasil penelitian yang kemudian dituangkan dalam program dan metode dakwah pada akhirnya dilaksanakan bersama. Ke-enam, batas-batas perubahan yang dikehendaki dari riset dakwah partisipatif iini diukur sesuai dengan potensi mad’u. Ketujuh, riset sekaligus melaksanakan dakwah. Karena itu istilah metode deskriptif, eksploratif, dan eksperimen sudah terangkum dalam riset dakwah partisipatif dan merupakan bagian integral penelitian yang hanya dapat dibedakan secara tentatif.

Ke-lima, riset kecendrungan gerakan dakwah. Dalam metode ini setelah peneliti (da’i) melakukan generalisasi atas fakta dakwah masa lalu dan saat sekarang serta melakukan kritik teori-teori dakwah yang ada, maka peneliti dakwah menyusun analisis kecendrungan masalah, sistem, metode, pola pengorganisasian dan pengelolaan dakwah yang terjadi masa lalu, kini, dan kemungkinan masa yang akan datang. Dengan riset kecendrungan ini kegiatan dakwah akan dapat tampil memandu perjalanan umat dalam sejarah global dan selalu dapat memberikan tanda-tanda zaman yang akan datang sehingga umat melakukan antisipasi yang lebih dini dan dapat mendesain skenario perubahan. Metode ini sesuai dengan sifat masalah pencapaian tujuan dakwah yang seolah tanpa tepi.

 

Manhaj Sistematika wahyu dan Kandungannya.

Kalimat konsep (manhaj) sistematika wahyu merupakan terminologi yang dipakai oleh almarhum Ustadz Abdullah Said (pendiri  pesantren hidayatullah) dengan maksud suatu rancangan, ide, dan gagasan untuk mengulangi kembali kejayaan yang pernah diraih Rasulullah bersama para sahabat dan pengikut beliau dalam mendakwahkan Islam, karena pola pembinaannya merujuk pada tata urutan wahyu yang turun pertama kali (tartibun nuzul). Dengan kata lain konsep sistematika wahyu adalah suatu upaya mereelaborasi nilai-nilai Al-Qur’an secara sistematis sebagaimana yang dilakukan Rasul dan para sahabatnya dalam mengemban dakwah Islam[5].

Komponen Konsep Sistematika wahyu

Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa konsep sistematika wahyu terdiri dari beberapa bagian surat yang turun pertama kali. Kelima surat tersebut kemudian dijadikan konsep oleh Pesantren Hidayatullah. Lima surat yang dimaksud tersebut adalah Surat Al-Alaq 1-5, Surat Al –Qolam 1-7,  Surat Al Muzammil 1-10, Surat Al Mudatsir 1-7, dan Surat Al Fatihah 1-7[6].

Pertama, surat al alaq 1-5 merupakan kunci utama dalam membangun kesadaran hidup bertauhid. Melalui wahyu pertama ini Allah mengenalkan dirinya sebagai  Robb yang memiliki dua sifat utama yaitu sebagai pencipta dan sebagai dzat yang maha mengetahui. Dalam wahyu ini juga mengajak manusia untuk mengenal dirinya, bahwa semua manusia berasal dari bahan baku yanng sama, yaitu “alaqoh”. Melalui pengenalan ini diharapkan manusia dapat memposisikan dirinya dihapan Allah bahwa selain hina dan lemah di hadapan-Nya, manusia juga tidak mempunyai nilai apa-apa. Ia hanya sebagai makhluk sebagaimana penciptaan lainnya, yang segala sesuatunya sangat bergantung kepada sang pencipta.

Sebagai makhluk yang diciptakan, manusia tidak mempunyai hak apa-apa di hadapan kholiq (sang pencipta). Tidak ada hak tawar menawar apalagi menampik titah dan perintah-Nya. Segala bentuk perlawanan merupakan penyimpangan dari fithrah dan tujuan penciptaan-Nya. Hasil konkrit dari pendidikan Al-Alaq ini adalah lahirnya pribadi-pribadi dan masyarakat muslim yang hidup secara tauhid, baik dalam berpikir, berbuat, dan bersikap. Semua pikiran, perbuatan, dan tindakannya hanya didasarkan pada suatu keyakinan bahwa laa ilaha illallah, tiada tuhan selain Allah.

Kedua, Surat Al-Qolam 1-7. Setelah bersyahadat, tentunya cita-cita seseorang tiada lain kecuali menegakkan kalimat Allah. Keinginannya adalah menyaksikan suatu kehidupan harmoni dalam tata aturan Allah. Karenanya perlu disiapkan metode untuk mencapai obsesi tersebut.

Yang ingin dicapai dari tahap ini adalah kuatnya keyakinan akan kebenaran laa ilaha illallah. Ini perlu untuk memberikan kekuatan moral di tengah masyarakat. Sebagaimana diketahui, pada masa sekarang ini suatu kebenaran busa menjadi bahan olokan, sementara tindakan kemungkaran justru diagung-agungkan.

Wahyu kedua ini juga mengandung bimbingan kepada manusia agar memiliki khittah hidup yang jelas. Maksudnya pada wahyu ini Allah menginformasikan kepada setiap muslim untuk memantapkan keyakinan. Tidak mundur karena rintangan dan tidak takut karena celaan. Digambarkan prospek hidup seorang muslim dengan bayangan yang indah, tidak akan menjadi gila, akan mendapat guna dan manfaat yang tidak terbatas dan akan memiliki akhlaq serta pribadi yang agung. 

Ketiga, surat Al Muzammil ayat 1-10. Wahyu ketiga ini berisikan tentang pembekalan mental yang harus disiapkan oleh setiap pejuang Islam untuk menghadapi segala situasi. Persiapan ini menjadi sangat penting agar api semangat perjuangan tetap menyala sepanjang masa. Tak lapuk karena hujan, tak lekang karena panas. Istiqomah dalam berjuang baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit.

Dalam surat ini juga menggambarkan kepribadian yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Semua pekerjaan menuntut persyaratan pribadi yang baik. Untuk melanggengkan cita-cita menegakkan laa ilaha illallah perlu keutuhan dalam menampilkan diri sebagai seorang muslim sejati. Identitas ini bahkan harus melekat dimanapun berada, bukan hanya bila di muka umum.

Disamping itu dalam surat ini dijelaskan pula bahwa Islam menyiapkan konsep tentang menjaga kualitas diri, yakni dengan memotivasi ummatnya agar memperhatikan ibadahnya. Persyaratan inilah yang dituntut dalam tahapan selanjutnya sebagaimana terangkum dalam surat ketiga Al Muzammil ayat 1-10.

Yang ditekankan dalam surat ini adalah shalat malam, sebagai ibadah tambahan. Hal ini menyiratkan asumsi bahwa ibadah-ibadah wajib dengan sendirinya sudah dilaksanakan. Shalat malam juga menjadi persyaratan akhlaq pejuang-pejuan kebenaran, karena dibalik itu Allah menjanjikan banyak kelebihanyag tidk akan dimiliki orang lain.

Tuntutan kedua adalah memperbanyak membaca dan mempelajari Al Qur’an. Kemudian memperbanyak dzikir dalam arti berupaya menjalin hubungan kontinu dengan Allah. Selanjutnya memiliki sifat sabar dan tawakkal yang menggambarkan sosok pribadi tenang, penuh perhitungan, serta memiliki kesiapan menanggung resiko apapun juga. Sikap terakhir sebagai penyempurna adalah hijrah, sebagai buktikesungguhan dan keberanian untuk meninggalkan yang buruk dan memilih yang baik, sekalipun harus banyak korban.

Keempat, Surat Al Mudatsir ayat 1-7. Dengan cita-cita dan kekuatan pribadi seperti yang diuraikan dalam surat Al Muzammil sebelumnya.tahapan selanjutnya yang harus dilalui adalah menyatukan berbagai potensi. Pertama, berupa pribadi-pribadi dengan kualitas yang setara. Penyeragaman kualitas perlu dilakukan agar langkah bisa serentak. Hal inilah yang disiratkan dalam surat Al Mudatsir ayat 1-7.

Dalam tahapan ini, selain umat Islam dituntut untuk bisa berorganisasi secara rapi, juga harus bisa mengajak kepada kebaikan, baik ke dalam maupun ke luar. Dengan adanya perintah untuk memberi peringatan, berarti seseorang diperintahkan untuk menyebarluskan dakwah tanpa batas. Tetapi ini semua baru bisa akan dilakukan denga sukses bila tahapan sejak pertama hingga ke tiga tetap bisa dipenuhi.

Dengan kata lain wahyu ke empat ini dapat dikatakan merupakan perintah untuk mendakwahkan Islam. Kehebatan Islam tidak boleh dinikmati secara pribadi, tetapi harus didakwahkan kepada masyarakat secara luas. Kekuatan aqidah yang sudah tertanam dalam al alaq, kekuatan cita-cita yang diperoleh dari al qolam, kekuatan ruhiyah yang disadap dari pelaksanaan al Muzamil tidak akan banyak berarti tanpa tampil mengambil peran mendakwahkan dan memperjuangkan agama Islam. Maka dalam wahyu ke empat ini Allah memerintahkan agar seorang mukmin tampil ke gelanggang memberikan peringatan kepada manusia. Mengagungkan asma Allah dalam ucapan maupun dalam karya nyata, mensucikan diri dan lingkungan sekitar dari perbuatan maksiat, meninggalkan segala perbuatan dosa, tidak memberi dengan maksud memperoleh imbalan yang lebih banyak, dam bersabar atas ketetapan tuhan.

Kelima, surat al fatihah ayat 1-7. Tahapan al fatihah merupakan tahapan terakhir  dari lima tingkatan yang harus dilalui oleh setiap orang yang ingin berislam secara sempurna menurut versi pesantren Hidayatullah yang diambil dari keterangan Ibnu Abbas. Dengan memasuki tahapan ini, tersirat keberhasilan perjuangan yang telah mengarah pada terwujudnya masyarakat yang penuh dengan rahmat. Tetapi hal ini tergantung pada keputusan Allah, tidak bisa dipaksakan. Yang bisa dilakukan adalah upaya sabar dan istiqomah meniti jalan-Nya. Dan bila Allah berkenan karena melihat hamba-Nya memenuhi persyaratan dan kemampuan, maka kelanjutannya akan mudah saja.

Namun sebelumnya perlu ada pembuktian berupa prestasi-prestasi, bahkan hingga yang tidak masuk akal sekalipun. Ini tentu saja tidak ringan, sebagaimana perjalanan Nabi yang penuh dengan onak dan duri.

Bila prestasi dan kelebihan itu belum nampak, berarti ada yang kurang dari serangkaian perjalanan dari tahap ke tahap. Mungkin persyaratan pribadi yang belum terpenuhi. Atau ada anggota jam’ah yang masih  suka bikin dosa. Atau istri dan anggota keluarga masih belum mau mengenakan jilbabnya, dan sebagainya. Itu semua perlu dikoreksi, agar keberhasilan yang dicita-citakan bisa terwujudkan, dan umat Islam bisa mengelola dunia dengan kasih sayang sebagaimana tersirat dalam surat al fatihah.

Inti dari surat al fatihah adalah informasi utuh yang menggambarkan satu kesatuan ajaran Islam (unity of Islam). Klise tentang ajaran Islam yang kaffah itu dapat ditemukan dalam ayat-ayat surat al fatihah. Di dalam surat ini terdapat nilai-nilai dasar yaitu ; tauhid, baik tauhid uluhiyah, rububiyah, mulkyah, maupun tauhid asma wa sifat. Terdapat pula bab tentang ibadah dan do’a, petunjuk tentang jalan lurus dan jalan yang sesat dan sebagainya.

 

Analisis elaborasi Metode Ilmu Dakwah dalam Manhaj Gerakan Dakwah Hidayatullah.

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya tentang beberapa kajian teori metode ilmu dakwah yang ada cukup variatif dan memiliki sudut pandang yang berbeda tergantung dari setting mana seorang peneliti ingin mendalami kajian atau penelitiannya. Dalam analisis ini akan dijelaskan  elaborasi metode ilmu dakwah dalam tartib nuzul wahyu telaah konsep Sistematika Wahyu dari sudut pandang analisis pendekatan sistem dakwah menurut Amrullah Ahmad. Hal ini dilakukan karena analisis dengan pendekatan sistem dakwah diharapkan bisa memberikan suatu gambaran utuh tentang elaborasi metode ilmu dakwah dalam konsep sistematika wahyu.

            Hal demikian dilatar belakangi oleh penjelasan sebelumnya bahwa pendekatan analisa sistem dakwah dapat mengurai masalah-masalah dakwah yang kompleks dapat dirumuskan, proses dakwah dapat diketahui alurnya, hasil-hasil dakwah dapat diukur dan dianalisa, umpan balik kegiatan dakwah dapat dinilai dan fungsi dakwah terhadap sistem kemasyarakatan (lingkungan) dapat diketahui dan dianalisa. Demikian juga dampak perubahan dari sistem politik terhadap sistem dakwah dapat di-identifikasi secara jelas. Oleh karena itu metode ini tepat sekali untuk pengembangan konsep dan teori dakwah dalam rangka pengembangan keilmuan dakwah. Sedangkan secara praktis metode ini sangat bermanfaat bagi perumusan kebijakan dan program dakwah Islam.

            Atas dasar uraian di atas analisis dari kajian ini lebih difokuskan pada analisis sistem dakwah. Penjelasan tentang sistem dakwah dalam tartib nuzul wahyu telaah konsep sistematika nuzulnya wahyu mengandung pemahaman bagaimana sesungguhnya sistem dakwah yang dilakukan Rasulullah ketika pertama kali menerima wahyu dan bagaimana menyampaikannya (red-mendakwahkannya) kepada keluarga dan masyarakat Quraisy pada masa itu. Hal ini yang akan diuraikan dalam beberapa penjelasan berikut di bawah ini.

Pendekatan Sistem Dakwah

Berbicara mengenai sistem dakwah, terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian sistem. Menurut Nasarudin dikutip oleh Moh. Ali Aziz[7], dalam Ilmu Dakwah sistem (sistem) menurut arti logat adalah suatu kelompok unsur-unsur yang saling berhubungan membentuk suatu kesatuan kolektif. Maksud sistem adalah suatu rangkaian kegiatan yang sumbang menyumbang saling berkait menjelmakan urutan yang logis dan tetap terikat pada ikatan hubungan pada kegiatan masing-masing dan rangkaian secara menyeluruh.

Sementara itu, Iskandar Wiryakusumo mendefinisikan sistem sebagai suatu organisasi dari kumpulan komponen yang berhubungan suatu sama lain. Dengan demikian sistem ini akan menjadi suatu alat yang penting untuk mengontrol transfer prinsip-prinsip dari bidang kebidang lainnya.

Dari pengertian sistem di atas jika dikaitkan dengan sistem Islam dan sistem dakwah Islam adalah merupakan ajaran yang bersumber dari wahyu ilahi yang antara isi-isi wahyu itu sangat terkait dengan satu lainnya. Demikian juga hadits sebagai sumber kedua setelah al-Qur’an. Kalau kita membagi isi pokok ajaran Islam menjadi keimanan syari’ah dan muamalah, maka ketiganya itu merupakan satu kesatuan yang utuh.

Sistem dakwah terbentuk dari beberapa subsistem yang merupakan komponen-komponen yang lebih kecil dan merupakan bagian dari sistem dakwah. Beberapa subsistem yang merupakan bagian dari sistem dakwah tersebut tidak lain adalah unsur-unsur dakwah itu sendiri, yaitu da’i (subjek dakwah) mad’u (mitra dakwah), maddah (materi dakwah), wasilah (media), metode (thariqah) dan atsar (efek dakwah). Keseluruhan dari subsistem-subsistem dakwah ini merupakan satu kesatuan yang  sangat terkait satu dengan lainnya.

Uraian lebih lengkap tentang sistem dakwah dalam sub bab ini akan menjelaskan pendekatan sistem dakwah menurut Amrullah Ahmad. Hal ini dilakukan karena dalam penjelasan sebelumnya penelitian ini dibatasi pada pendekatan analisis sistem dakwah menurutnya.

Menurut Amrullah Ahmad, untuk menganalisa keadaan dakwah Islam yang permasalahannya semakin kompleks di tengah-tengah perubahan sosial, diperlukan suatu kerangka analisa makro untuk menjembatani kesenjangan antara pemikiran realitas dakwah dengan tujuan dakwah. Pendekatan ini berangkat dari anggapan dasar bahwa dakwah Islam merupakan suatu sistem usaha merealisasikan ajaran Islam pada semua dataran kenyataan kehidupan manusia. Dalam pendekatan ini digunakan teori umum sistem yang bersifat analitis, yaitu mengadakan konstruk intelektual yang tersusun dari aspek-aspek realitas dakwah Islam. Pada umumnya sistem terdiri dari lima komponen dasar, komponen tersebut yaitu:

Sistem Dakwah Dalam Manhaj Gerakan Dakwah Hidayatullah

Dalam bahasan ini akan diuraikan tentang sistem dakwah menurut Amrullah Ahmad dan implementasinya dalam konsep gerakan dakwah Hidayatullah. Adapun Amrullah Ahmad menjelaskan sub input dalam sistem dakwah meliputi; masukan utama (raw input), masukan sarana (instrumental input) dan masukan lingkungan (environmental input).

Masukan utama (raw input) terdiri dari materi dakwah, manusia (sebagai da’i dan sasaran dakwah). Materi dakwah terdiri dari Al-Qur’an, As Sunnah dan hasil ijtihad. Masukan sarana (instrumental input) berupa metode, peta (informasi), dana dan fasilitas dakwah. Masukan lingkungan (environmental input) berupa masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat yang berkaitan dan mempengaruhi dakwah yang memerlukan pemecahan dalam dakwah.

Dengan menggunakan analisa sistem dakwah masalah-masalah dakwah yang kompleks dapat dirumuskan, proses dakwah dapat diketahui alurnya, hasil-hasil dakwah dapat diukur dan dianalisa, umpan balik kegiatan dakwah dapat dinilai dan fungsi dakwah terhadap sistem kemasyarakatan (lingkungan) dapat diketahui dan dianalisa. Demikian juga dampak perubahan dari sistem politik terhadap sistem dakwah dapat diidentifikasi secara jelas. Oleh karena itu, metode ini sangat tepat sekali untuk pengembangan konsep dan teori dakwah dalam rangka pengembangan keilmuan dakwah. Sedangkan secara praktis metode ini sangat bermanfaat bagi perumusan kebijakan dan program dakwah Islam.

Dari uraian di atas bila dikaitkan dengan sistem dakwah yang ada dalam tartib nuzul wahyu telaah konsep sistematika wahyu dapat dijelaskan sebagaimana penjelasan berikut ini. Aspek input dalam kajian ilmu dakwah meliputi da’i, materi, metode dan media.

Dalam hal ini input dalam konsep sistematika wahyu, seorang da’i harus memiliki kepribadian Islam yang baik dan didasari beberapa indikator berikut; memahami substansi kajian al-alaq yaitu memiliki aqidah yang kokoh, substansi kajian al-qolam memiliki orientasi hidup yang jelas, substansi kajian al-muzammil memiliki bekal spiritual hidup yang ditandai dengan gemar bangun malam, baca al-Qur’an, banyak berdzikir, tekun beribadah, sabar, tawakkal, dan hijrah dari perbuatan keji dan munkar ke amal perbuatan yang lebih baik.

Berikutnya surat al-Mudatsir mengandung substansi seorang muslim atau da’i setelah menikmati Islam sebagai pedoman hidupnya, ia diwajibkan mendakwahkannya kepada orang lain. Dan terakhir surat al-Fatihah mengandung pedoman bagi seorang da’i dalam memahami konsep bagaimana membangun masyarakat Islam yang di dalamnya mengandung tiga unsur penting yaitu tentang aqidah, ibadah dan manhajul hayat (pedoman hidup).

Profil Da’i Dalam Manhaj Gerakan Dakwah Hidayatullah

Uraian tentang sub sistem dakwah terutama pada pembahasan da’i (red-kredibilitas Da’i) dalam perspektif kajian konsep gerakan dakwah Hidayatullah akan dijelaskan sebagai berikut:

a.       Suci Aqidah dan Fikrahnya (Kajian Al-Alaq )

Seorang da’i adalah orang yang memiliki peran untuk menjadi figur dan uswah bagi masyarakat. Salah satu hal yang harus dimiliki oleh seorang da’i untuk bisa menjadi figur bagi masyarakat adalah memiliki aqidah dan fikrah yang baik. Uraian tentang hal ini dijelaskan dalam surat al-alaq yang berhubungan dengan bekal dasar seorang da’i.

Nilai-nilai surat al-alaq merupakan kunci membuka nilai-nilai al-Qur’an. Dengan iqro’ bismirobbika seseorang siap membuka hati untuk menerima nilai-nilai wahyu. Nilai-nilai wahyu itulah yang membimbing dirinya bukan malah nilai-nilai wahyu yang dipolitisir untuk memenuhi kepentingannya. Dengan demikian seorang da’i dituntut untuk menjaga kesucian aqidah dan pola pandangannya. Gerak seseorang adalah respon dari apa yang ia pilih dan dipikirnya. Bila aqidah dan fikrahnya benar dan bersih maka akan menghasilkan gerak yang benar dan bersih pula. Sebaliknya bila nilai-nilai surat al-alaq ini ditinggalkan atau belum dimiliki, sangat mungkin gerak dakwahnya ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan lain. Sungguh sangat berbahaya seorang da’i justru menggunakan misinya untuk membangun kepentingannya sendiri. Tujuannya memperbaiki tapi hasilnya justru merusak.

            Kesucian fikrah yang berlandaskan aqidah tauhid, jauh dari sifat materialisme, hedonisme atau isme-isme yang lain. Berangkat dari inilah seorang da’i memandang seluruh manusia sama dihadapan Allah. Kepada yang berpangkat, da’i tidak merasa rendah. Kepada yang kaya raya da’i tidak merasa hina. Kepada yang miskin tidak merasa tinggi. Duduk sejajar tidak ada perbedaan.

            Aqidah dan fikrah inilah yang mengawali revolusi sosial di Makkah. Ukuran kemuliaan bukan pada materi atau jabatan jama’ah, melainkan pada derajat ketaqwaan kepada Sang maha pencipta, yang maha besar. Hanya Allah yang berhak disembah.

b.      Tinggi Cita-Cita dan Akhlaqnya (Kajian al-Qolam)

Dakwah pasti menghadapi hambatan, ancaman, tantangan, dan gangguan. Bila tidak mempunyai gelora cita-cita yang tinggi seorang da’i akan terkulai di tengah jalan. Benturan antara haq dan bathil pasti terjadi. Maka nilai-nilai surat al-Qolam yang merupakan jaminan dari Allah bagi orang-orang yang ber-qur’an harus dipahami, dihayati, dan diamalkan.

Allah menjamin kepada orang-orang yang ber-Qur’an dengan pahala yang tiada terputus. Orang yang melawan misi qur’ani itulah yang sesungguhnya gila. Karena itu seorang da’i harus memiliki cita-cita yang menggelora untuk menegakkan al-Qur’an. Dengan cita-cita inilah misi dakwah akan terus bergerak meskipun dihadang seribu halangan.

Kemudian yang idak kalah pentingnya bagi sorang da’i adalah memiliki akhlaq yang agung. Seorang da’i yang tidak memiliki akhlaq akan menodai keagungan dakwah, bisa jadi orang yang menolaknya bukan karena  pesan kebenaran yang disampaikan, tetapi karena akhlaq orang yang menyampaikan. Dengan kata lain sebaik apapun keyakinan seseorang pada agamanya kalau akhlaqnya kurang baik akan memberikan kesan kurang baik dari orang lain yang melihatnya.

c.       Bersih Ruhani dan Mentalnya (Kajian al-Muzammil)

Seorang da’i idealnya setiap saat kondisi rohani dan mentalnya selalu baik,  yang paling berbahaya adalah apabila syaithan menjebak hamba Allah dalam kebaikan. Rasulullah Saw pernah mnyampaikan berita bahwa di akherat kelak ada orang yang berjuang sampai mati dan menyangka dirinya telah syahid, tetapi justru Allah memurkainya. Sebab ternyata yang dilakukan bukan karena ridha Allah, tetapi hanya mencari kepopuleran duniawi. Bukankah gelar pahlawan yang dicarinya telah di dapat di dunia.

            Sungguh suatu kebangkrutan bila dakwah dan pengorbanan itu hanya tipuan syaithan. Disangka telah melakukan dakwah dan pengorbanan tapi nyatanya justru keburukan. Inilah gerak kebaikan yang didorong oleh nafsu ammarah bissu’ hal yang harus diwaspadai. Seorang da’i harus memiliki kebersihan rohani agar terhindar dari jebakan jahat syaithan.

            Sebelum Allah memanggil kita untuk membawa misi dakwah, terlebih dahulu menempa ruhani dengan shalat lail, tartil qur’an dan dzikir. Gelora cita-cita surat al-Qolam harus difilter dengan nilai-nilai al-muzammil ini  (Qs. Almuzammil: ayat 1-10).

Shalat lail melawan hawa nafsu kantuk. Bangun malam tidak untuk mencari perhatian manusia, melainkan dalam rangka membutuhkan bantuan Allah. Seorang da’i yang menyampikan firmn allah kepada umatnya, sudah seharusnya memliki kelebihan energi ruhiyah. Bila tidk demikian energi ruhiahnya tidk bisa mengalir ke sasaran dakwah. Seorang da’ijuga harus dekat dengan al-Qur’an, juga harus senantiasa sibuk berdzikir kepada Allah, agar tak memberikan ksmpaan bisikan syaithan menyelinap di hati.

            Di samping kekuatan ruhani di atas, seorang da’i juga harus memiliki beberapa kekuaan mental yakni; sabar, tawakkal, serta keberanian melakukan hijrah. Dakwah bukan pekerjaan ringan. Ini adalah profesi warisan para rasul. Dari bebrapa segi terutama materi memang kelihatannya sengsara, namun dibalik itu ada kemulian sejati.

            Bekal dasar di atas adalah bekal minimal yang harus dimiliki. Bekal ini harus merupakan bagian dari jiwa, akhlaq dan sifat-sifat para nabi.

d.      Bekal Operasional Dakwah (Kajian al-Mudatsir)

            Allah menyeru kepada para d’i yang telah menmpa diri dengan keyjinan, akhlaq dan cita-cita qur’ani serta meningkatkan kualitas ruhiyhnya agar bangkit turun ke gelanggng. Singkirkan selimut, singsinkan lengan baju, kemudian berikan peringatan pda uma manusia, allah berkenan memberi rekomendasi kepda mereka ini unuk berdkwah.

            Dakwah merupakan aktualisasi pertumbuhan iman yang telah mekar karena disirami nilai-nilai dalam surat al-alaq, al-qolam, al-muzammil. Namun demikian Allah masih mewanti-wanti agar para da’inya memiliki bekal operasional agar tetap terpelihara kebersihan diri dan terjaga kesucian misi dakwah.

            Misi dakwah adalah misi yang agung. Sistem Islam meliputi yang lahir dan yang batin, dunia dan akhirat, bumi dan langit, individu dan sosial, yang nampak dan yang tidak nampak. Untuk menegakkan sistem itu wajar bila seorang da’i dituntut suci aqidah dan fikrahnya, agung akhlaq dan cita-citanya, bersih ruhani dan mentalnya, luas ilmu dan wawasannya. Dengan bekal inilah setiap da’i akan siap mentransformasi nilai-nilai al-Qur’an munuju Islam kaffah (nilai-nilai al-fatihah). Perjalanan masih panjang tapi dengan pertolongan Allah semua dapat terselesaikan. 

Materi, Media dan Metode Dakwah dalam manhaj Gerakan Dakwah Hidayatullah

Aspek materi dari bagian input sistem dakwah dalam kajian ini adalah meliputi materi apa yang dijelaskankan dalam konsep SW. Dalam penjelasan konsep SW materi yang dianggap efektif adalah mengutamakan materi dakwah yang berhubungan dengan masalah aqidah, hal ini di-ilhami oleh keberhasilan dakwah Rasulullah pada awal-awal menyampaikan Islam kepada keluarga dan kafir Quraisy pada waktu itu. Dimana pada zaman Rasulullah terdapat beberapa sahabat yang berubah seratus persen dari sebelumnya membenci Islam menjadi pejuang Islam sepenuhnya, sahabat Abu Bakar dan Umar bin Khattab adalah contoh nyata dari peristiwa ini. Dari penjelasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa untuk bisa efektif dan efesien sebuah dakwah di era sekarang ini juga mestinya dilandasi oleh pelajaran historis dakwah Rasulullah tersebut yang mengutamakan aqidah. Uraian tentang materi dakwah secara utuh akan dapat dipahami dengan baik bila mengkaji konsep SW secara konprehensif.  

Sementara itu aspek metode dakwah dalam manhaj gerakan dakwah Hidayatullah dapat dijelaskan bahwa, dalam menyampaikan dakwah seorang da’i mengedepankan aspek pengikisan thaga’ (sombong) yang ada pada setiap orang dengan metode dakwah fardiah. Metode ini juga yang pernah dilakukan Rasulullah ketika pertama mendakwahkan Islam. Para sahabat yang menerima dakwah Islam dengan pendekatan dakwah fardiah pengikisan thaga’  membuat mereka berubah dalam sikap dan kepribadian mereka. 

Berikutnya sub bagian input dakwah adalah media dakwah. Media dakwah yang dijelaskan dalam konsep gerakan dakwah Hidayatullah yaitu selain media dakwah yang sifatnya umum digunakan dalam kegiatan dakwah seperti menggunakan media cetak berupa lembar dakwah mingguan maupun majalah dakwah bulanan, yang paling menonjol dari media dakwah yang selama ini cukup efektif dalam kegiatan dakwah di lingkungan kampus Hidayatullah adanya area atau suaka kampus yang di desain sedemikian rupa untuk memudahkan kontrol amaliayah semua jama’ah yang ada. Unsur penting yang selalu ada pada setiap area kampus Hidayatullah untuk membangun dakwah yang efektif dan efesien yaitu adanya masjid, asrama santri, rumah pengasuh, dan gedung pendidikan.

Keberadaan area kampus ini sekaligus sebagai media peragaan masyarakat islami (red – miniatur masyarakat islam) dan menjadi contoh konkrit bagaimana membumikan ajaran Islam dalam konteks mikro masyarakat, hal ini menjadi rujukan contoh bagi mad’u yang menerima pesan dakwah dari da’i Hidayatullah. Eksistensi kampus tersebut sekaligus menjadi media dakwah bagi masyarakat umum yang ingin melihat langsung bagaimana peragaan hidup yang islami. Uraian ini tentunya menurut sebagian orang terlalu berlebihan karena mengandung justifikasi penilaian subyektif dari pengelolanya. Kalaupun saat ini belum sesuai dengan uraian tersebut tentunya pada masa berikutnya bisa direalisasikan dan sesungguhnya hal itu merupakan idealisme dari pendiri dan pengelola lembaga sampai saat ini.

Proses dan Out-put Dakwah dalah Manhaj Gerakan Dakwah Hidayatullah

Uraian berikutnya tentang sub sistem dakwah adalah proses atau aktifitas dakwah itu sendiri. Pelaksanaan dakwah dalam manhaj gerakan dakwah Hidayatullah bisa dijelaskan bahwa proses atau pelaksanaan dakwah bisa berjalan dengan baik bila raw-input dakwah yang meliputi da’i, mad’u, metode, dan media telah memenuhi target sasaran sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Dalam konsep gerakan dakwah Hidayatullah proses dakwah akan bisa berjalan dengan baik apabila piranti dakwah yang meliputi semua unsur raw-input dakwah dan area kampus yang ada  seperti diuraikan sebelumnya memenuhi kriteria yang diharapkan.

Penjelasan terakhir adalah tentang out-put dakwah. Dalam hal ini out-put berupa hasil atau efek dakwah yang diharapkan tentunya sesuai dengan rencana sebelumnya. Pada umumnya hasil dakwah yang ingin diraih oleh setiap pelaku dakwah baik oleh pelaku individu maupun kelompok yaitu menghasilkan mad’u atau obyek dakwah yang memiliki perubahan lebih baik dari sebelumnya. Dalam perkembangannya sejak adanya kegiatan dakwah dengan pendekatan ala manhaj nubuwah (red – konsep sistematika wahyu) out-putnya adalah telah menghasilkan para da’i dan muballigh yang siap di terjunkan ke medan dakwah walaupun background mereka sebelum bergabung dengan Hidayatullah sangat variatif dan belum memiliki kompetensi yang memadai untuk menjadi da’i atau berdakwah.

Dari pandangan tersebut bila dikaitkan dengan penelitian ini, dapat dijelaskan bahwa metode ilmu dakwah dengan mengambil batasan pendekatan sistem dakwah, dalam hal ini ada dua aspek yang akan diuraikan yaitu aspek konsep atau teori pengembangan keilmuan dakwah dan kedua adalah aspek praktis yang berhubungan dengan perumusan kebijakan dan program dakwah Islam.

Yang berhubungan dengan aspek konsep atau teori konstruksi metode ilmu dakwah dalam manhaj gerakan dakwah Hidayatullah menghasilkan sebuah paradigma baru tentang metode ilmu dakwah. Paradigma baru ini menjadi sebuah sumbangan bagi pengembangan keilmuan dakwah yang berhubungan dengan sistem dakwah yang di dalamnya meliputi input, proses, out-put, dan feedback dakwah.

Dalam hal ini bila dikaitkan dengan aspek konsep atau teori maka disini akan dirangkum menjadi sebuah konstruksi baru tentang metode ilmu dakwah yang dibahas sesuai dengan batasan dalam penelitian ini. Atas dasar inilah kemudian yang dimaksud dengan metode ilmu dakwah dalam penelitian ini adalah metode ilmu dakwah yang menggunakan pendekatan kajian sistem dakwah yang berusaha memberikan solusi dari masalah-masalah dakwah yang kompleks dapat dirumuskan, proses dakwah dapat diketahui alurnya, hasil-hasil dakwah dapat diukur dan dianalisa, umpan balik kegiatan dakwah dapat dinilai dan fungsi dakwah terhadap sistem kemasyarakatan (lingkungan) dapat diketahui dan dianalisa.

Dari definisi tersebut bila dikaitkan dengan manhaj gerakan dakwah Hidayatullah maka kajian tentang elaborasi metode ilmu dakwah dalam manhaj gerakan dakwah Hidayatullah, setidaknya mengandung pengertian suatu upaya secara cermat atau langkah-langkah sistematis yang dilakukan oleh Hidayatullah dalam memberikan solusi atas masalah-masalah dakwah yang kompleks, dan memiliki suatu pedoman untuk mengetahui proses dan alur dakwah, serta hasil dan umpan balik dakwah dapat diukur dan dianalisa dalam setiap gerakan dakwah yang dilakukan.

Yang kedua adalah aspek praktis, kajian elaborasi metode ilmu dakwah dalam manhaj gerakan dakwah Hidayatullah secara praktis diharapkan bermanfaat bagi perumusan kebijakan dan program dakwah Islam bagi pelaku dakwah, baik individu maupun kelompok atau lembaga. Dalam hal ini tentunya berlaku untuk aspek internal maupun eksternal lembaga Hidayatullah.

Secara internal, setelah diketahui konstruksi metode ilmu dakwah dalam manhaj gerakan dakwah Hidayatullah tentunya bisa dijadikan pedoman dalam pengembangan dan pelestarian kegiatan dakwah yang selama ini berjalan di Hidayatullah secara nasional. Demikian sebaliknya secara eksternal bisa dijadikan sebagai rujukan bagi semua pihak, baik dari kelompok akademis keilmuan dakwah maupun dari kelompok praktisi dakwah di masyarakat.

Kesimpulan dan Implikasi

Pertama, terkait dengan elaborasi metode ilmu dakwah, dalam penelitian ini karena dibatasi menurut Amrullah Ahmad, maka pengembangan keilmuan dakwah yang disimpulkan adalah pendekatan analisis sistem dakwah. Pendekatan analisis sistem dakwah meliputi sub input yang terdiri dari; masukan utama (raw input), masukan sarana (instrumental input) dan masukan lingkungan (environmental input).

Masukan utama (raw input) terdiri dari materi dakwah, manusia (sebagai da’i dan sasaran dakwah). Materi dakwah terdiri dari Al-Qur’an, As Sunnah dan hasil ijtihad. Masukan sarana (instrumental input) berupa metode, peta (informasi), dana dan fasilitas dakwah. Masukan lingkungan (environmental input) berupa masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat yang berkaitan dan mempengaruhi dakwah yang memerlukan pemecahan dalam dakwah.

Kedua, terkait dengan kajian manhaj gerakan dakwah Hidayatullah (konsep sistematika wahyu), dapat dijelaskan bahwa ; kalimat konsep (manhaj) sistematika wahyu merupakan terminologi yang dipakai oleh almarhum Ustadz Abdullah Said (pendiri  pesantren hidayatullah) dengan maksud suatu rancangan, ide, dan gagasan untuk mengulangi kembali kejayaan yang pernah diraih Rasulullah bersama para sahabat dan pengikut beliau dalam mendakwahkan Islam, karena pola pembinaannya merujuk pada tata urutan wahyu yang turun pertama kali (tartibun nuzul). Dengan kata lain konsep sistematika wahyu adalah suatu upaya mereelaborasi nilai-nilai Al-Qur’an secara sistematis sebagaimana yang dilakukan Rasul dan para sahabatnya dalam mengemban dakwah Islam dengan mengikuti tata urutan turunnya wahyu.

Ketiga, terkait dengan elaborasi metode ilmu dakwah dalam manhaj gerakan dakwah Hidayatullah dengan mengambil batasan pendekatan sistem dakwah, ditemukan dua aspek yang akan diuraikan yaitu aspek konsep atau teori pengembangan keilmuan dakwah dan kedua adalah aspek praktis yang berhubungan dengan perumusan kebijakan dan program dakwah Islam di Hidayatullah.

Yang berhubungan dengan aspek konsep atau teori elaborasi metode ilmu dakwah dalam manhaj gerakan dakwah Hidayatullah menghasilkan sebuah paradigma baru tentang metode ilmu dakwah. Paradigma baru ini menjadi sebuah sumbangan bagi pengembangan keilmuan dakwah yang berhubungan dengan sistem dakwah yang di dalamnya meliputi input, proses, out-put, dan feedback dakwah.

Dalam hal ini bila dikaitkan dengan aspek konsep atau teori maka disini akan dirangkum menjadi sebuah elaborasi baru tentang metode ilmu dakwah yang dibahas sesuai dengan batasan dalam penelitian ini. Atas dasar inilah kemudian yang dimaksud dengan metode ilmu dakwah dalam penelitian ini adalah metode ilmu dakwah yang menggunakan pendekatan kajian sistem dakwah yang berusaha memberikan solusi dari masalah-masalah dakwah yang kompleks dapat dirumuskan, proses dakwah dapat diketahui alurnya, hasil-hasil dakwah dapat diukur dan dianalisa, umpan balik kegiatan dakwah dapat dinilai dan fungsi dakwah terhadap sistem kemasyarakatan (lingkungan) dapat diketahui dan dianalisa.

Dari definisi tersebut bila dikaitkan dengan manhaj gerakan dakwah Hidayatullah maka kajian tentang elaborasi metode ilmu dakwah dalam konsep gerakan dakwah Hidayatullah setidaknya mengandung pengertian suatu upaya atau langkah-langkah sistematis yang dilakukan oleh Hidayatullah dalam memberikan solusi atas masalah-masalah dakwah yang kompleks, dan memiliki suatu pedoman untuk mengetahui proses dan alur dakwah, serta hasil dan umpan balik dakwah dapat diukur dan dianalisa dalam gerakan dakwah Hidayatullah. Implementasi dari penjelasan ini telah terangkum dalam beberapa panduan dakwah yang ada di lembaga Hidayatullah dan telah dijadikan pedoman dalam melakukan aktifitas dakwah di lapangan.

 

Implikasi Teoritik dan Praktis

Implikasi dalam penelitian ini maksudnya adalah bagaimana hasil penelitian yang ada jika dikaitkan (dilibatkan) dengan pengembangan ilmu pengetahuan, dan kedua bagaimana kegunaannya jika dikaitkan dengan praktek kehidupan sehari-hari.

Aspek teoritis elaborasi metode ilmu dakwah dalam manhaj gerakan dakwah Hidayatullah menghasilkan sebuah paradigma baru tentang metode ilmu dakwah. Paradigma baru ini menjadi sebuah sumbangan bagi pengembangan keilmuan dakwah yang berhubungan dengan sistem dakwah yang di dalamnya meliputi input, proses, out-put, dan feedback dakwah. Dalam hal ini bila dikaitkan dengan aspek konsep atau teori maka disini akan dirangkum menjadi sebuah elaborasi baru tentang metode ilmu dakwah yang dibahas sesuai dengan batasan dalam penelitian ini.

Aspek praktis, kajian elaborasi metode ilmu dakwah dalam manhaj gerakan dakwah Hidayatullah secara praktis diharapkan bermanfaat bagi perumusan kebijakan dan program dakwah Islam bagi pelaku dakwah, baik individu maupun kelompok atau lembaga. Dalam hal ini tentunya berlaku untuk aspek internal maupun eksternal lembaga Hidayatullah.

Secara internal, setelah diketahui elaborasi metode ilmu dakwah dalam manhaj gerakan dakwah Hidayatullah tentunya bisa dijadikan pedoman dalam pengembangan dan pelestarian kegiatan dakwah yang selama ini berjalan di Hidayatullah secara nasional. Demikian sebaliknya secara eksternal bisa dijadikan sebagai rujukan bagi semua pihak, baik dari kelompok akademis keilmuan dakwah maupun dari kelompok praktisi dakwah di masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer (analisis teoritis dan praktis dakwah sebagai solusi

problematika kekinian), PT. Pustaka Rizki Putra, Jakarta, cet.1 2006

 

Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi, Pustaka Firdaus, Jakarta, cet.2 2000

 

Arief Furchan dan Agus Maimun. Studi Tokoh Metode Penelitian Mengenai tokoh. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2005

 

Asep Muhyidin, dkk, Metode Pengembangan Dakwah, CV. Pustaka Setia, Bandung, cet.1

2002

 

Asep Saiful Muhtadi, dkk, Metode Penelitian Dakwah, CV. Pustaka Setia, Bandung, cet. 1.

2003

 

 Samsul Munir Amin, Re-elaborasi Pemikiran Dakwah Islam, Penerbit Amzah, cet. 1. Jakarta,

2008

 

Enjang AS, dkk. Dasar-dasar Ilmu Dakwah (Pendekatan Filosofis dan Praktis). Widya

Padjajaran. Bandung. 2009

 

Hamid Fahmi Zarkasyi (editor), Metodologi Pengkajian Islam (Pengalaman Indonesia –

Malaysia), ISID Gontor, Ponorogo, cet.1. 2008

 

-----------------------, Liberalisasi Pemikiran (gerakan bersama missionaris, orientalis dan kolonialis),

CIOS-ISID Gontor, Ponorogo, cet.1. 2008

 

-----------------------, Peradaban Islam (Makna dan strategi pembangunannya), CIOS-ISID

Gontor, Ponorogo, cet.1. 2010

 

Hamid Nasuhi dkk, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi). Jakarta:

CeQDA, 2007.

 

Hamim Thahari, dkk. Panduan Dakwah. Jakarta : DPP Hidayatullah, 2000

 

Jamal bin Furaihan al-Haritsi, Al-Ajwibah al-Mufiidah 'an As-ilati Manaahij Jadiidah III,

Daarul Manhaj, th. 1424 H.

 

M. Alimin Mukhtar,  Manhaj Sistematika wahyu Konsep dan Landasan Ilmiah, Surabaya. 2006

(edisi kedua tidak terbit)

 

M. Munir dan Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, Kencana, Jakarta, cet.2. 2009

 

Mahmudin. Manajemen Dakwah Rasulullah (suatu telaah historis kritis). Restu Ilahi. Jakarta.

2004

 

Masduqi Afandi, Ontologi Dasar-Dasar Filosofi dakwah sebagai disiplin ilmu. Diantama.

Surabaya. Cet.1. 2007

 

Mashud, Pengaruh Konsep Sistematika wahyu dalam Pembentukan Kepribadian Mahasiswa,

(skripsi), Surabaya. 2000

 

Nur Syam, Prof. Ilmu Dakwah, Jenggala. Surabaya 2004

 

PustakaSunnah.Wordpress.Com

 

Ridho Syabibi, Metodologi Ilmu Dakwah (Kajian Ontologis Dakwah Ikhwan al-Safa’), Pustaka

Pelajar, Yogyakarta, cet.1. 2008

 

Tuty Alawiyah. Strategi Dakwah di Lingkungan Majlis Taklim. Mizan. Bandung. Cet.1. 1997

 

Wahyu Ilaihi, Komunikasi Dakwah, CV. Remaja Rosdakarya, Bandung, cet.1. 2010  

 

 Yazid bin Abdul Qadir Jawas hafizhahullah, Mulia Dengan Manhaj Salaf, Pustaka At-

Taqwa cet. ke-2, 1424

 

 

 

 

 

 

 

 



[1]Arief Furchan dan Agus Maimun. Studi Tokoh Metode Penelitian Mengenai tokoh (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), 27.

[2]Enjang AS, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah -Pendekatan Filosofis dan Praktis. (Widya Padjajaran. Bandung. 2009), 30

[3] Mengingat keterbatasan peneliti, kajian metode ilmu dakwah menurut pandangan Syukriadi Sambas tidak akan dibahas dalam kajian ini dan akan dikaji pada kajian lainnya.

[4]  Enjang AS, Dasar-dasar ...., 31-33

[5]  Mashud, Pengaruh Konsep Sistematika wahyu dalam Pembentukan Kepribadian Mahasiswa (Skripsi ; 2002), 15

[6]  Hamim Tohari, dkk, Panduan Dakwah Hidayatullah. (Jakarta : DPP Hidayatullah), 13.

[7] Ali Aziz, Ilmu Dakwah, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2011,

Post a Comment

Previous Post Next Post