Jejak Penuh Hikmah Alm. Ust Abdullah Said



"Syahadat yang ideal adalah syahadat yang melahirkan kekuatan."
"Di atas kesulitan-kesulitan yang kita hadapi di lapangan perjuangan, ada janji-janji Allah yang sangat menggiurkan."
"Shalat itu bukan sekadar gerakan ritual semata. Di sana kita mengisi daftar usulan proyek, di sana kita meminta."
"Jangan hanya kagum dengan membaca sejarah yang telah dilakukan Nabi dan sahabat-sahabatnya, serta kecemerlangan pejuang-pejuang Islam di belakang beliau. Tapi kita juga harus berbuat sesuatu yang pantas dicatat sejarah."
Kutipan di atas hanya sekadar menyegarkan kembali ingatan kita terhadap sosok almarhum Ustadz Abdullah Said, pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah dan juga pendiri majalah Suara Hidayatullah. Laporan Utama kali ini, dalam rangka Milad majalah Suara Hidayatullah yang ke-19. kami mencoba tampil sedikit berbeda. Kami akan merekam kembali jejak penuh hikmah sosok Abdullah Said, termasuk nukilan buku berjudul KH Abdullah Said, Pokok-pokok Pikiran, Kiprah dan Perjuangannya karya Ust Manshur Salbu. Rekaman tersebut akan kami tampilkan dalam 10 halaman. Kami yakin ada banyak teladan dan hikmah yang bisa diambil dari rekaman tersebut. Selamat mengikuti!  *Dadang Kusmayadi, Mahladi/Suara Hidayatullah


Tulisan 2: 5 halaman

Rekam Jejak Sang Pelopor

Ketika Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dibacakan di Jakarta pada 17 Agustus 1945, jauh di pelosok Sulawesi Selatan, tepatnya di Desa Lamatti Rilau, Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai, lahirlah seorang anak dari ibu bernama Aisyah. Anak tersebut kemudian diberi nama Muhsin Kahar. Muhsin adalah anak ketiga dari empat bersaudara: Junaid Kahar, Lukmanul Hakim Kahar, dan As'ad Kahar. Ayahnya, Kiai Abdul Kahar Syuaib adalah ulama kharismatik di Kampung Lamatti. Sang ayah lebih populer di kalangan masyarakat dengan sebutan Puang Imang (panggilan kehormatan kepada Imam di kampung) karena cukup lama menjadi imam di kampung. Ketika masih dalam kandungan, Muhsin telah menjadi bahan perbincangan di kalangan keluarga. Sebab, usia kandungan ibunya sudah mencapai dua tahun, namun sang anak belum juga lahir. Hanya ayahnya yang selalu mengingatkan sang ibu agar tetap bersabar menunggu kelahirannya sampai kapan pun yang dikehendaki Allah Subhanahu wa Ta'ala (Swt). Ketika usia kandungan memasuki tahun kedua timbul tanggapan miring bahwa mungkin yang dikandung itu bukan manusia. Mungkin buaya atau entah apa. Sang ayah marah besar mendengar tanggapan miring seperti itu. Ada keyakinan dalam hati sang ayah bahwa anak yang dikandung itu kelak justru akan menjadi orang hebat. Akhirnya bayi yang tadinya mencurigakan itu lahir dalam keadaan normal dan sehat layaknya bayi-bayi pada umumnya.
Hijrah ke Makassar
Di kampung halamannya Muhsin sekolah sampai kelas III (1952-1954). Ia kemudian harus meninggalkan tempat kelahirannya tercinta karena harus mengikuti sang ayah pindah ke Makassar. Hati Muhsin merasa berat. Betapapun bersahajanya kampung itu, baginya banyak kenangan indah yang tidak mudah dilupakan. Desanya yang terletak di dataran tinggi dengan pepohonan yang rimbun selalu mengalirkan kesejukan. Apalagi jika memandang hamparan pulau-pulau di perairan Teluk Bone, memberi energi tersendiri dalam jiwanya. Kehidupan yang dijalaninya pada awal tiba di Makassar sangat memprihatinkan. Maklum, orang tuanya tdak mempunyai pekerjaan yang mendatangkan banyak uang. Ia hanya imam sebuah masjid di Kampung Malimongan Baru. Sesekali, sang ayah memberi tuntunan agama kepada jamaah masjid itu. Untunglah sang ibu sangat giat mencari nafkah untuk membantu membiayai anak-anak sekolah. Praktis, meskipun jauh dari memadai, kebutuhan keluarga itu tercukupi. Di Makassar itu Muhsin banyak menyaksikan orang mabuk-mabukan dan berteriak dengan kata-kata yang tidak sedap. Sering juga terjadi perkelahian antara kelompok anak muda yang hanya disebabkan persoalan sepele.
 

Bintang Kelas

Setelah pindah ke Makassar, Muhsin meneruskan sekolah di kota itu. Ia diterima di kelas IV SD (dulu Sekolah Rakyat) No 30. Di SD ini ia selalu menjadi bintang kelas karena menguasai seluruh mata pelajaran termasuk menggambar. Bahkan ia pernah menjuarai lomba menggambar antar Sekolah Dasar se-Kota Besar Makassar.   Ia juga sering ditugaskan gurunya menyalin pelajaran di papan tulis. Ketika mengikuti ujian akhir SD, ia mendapat nilai tertinggi sehingga memungkinkan memilih sekolah favorit. Ia tidak memilih sekolah umum tapi sekolah agama yakni Pendidikan Guru Agama Negeri 6 Tahun (PGAN 6 Tahun). Ia memilih sekolah ini karena di samping mempelajari agama juga termasuk sekolah yang didambakan sebagai satu-satunya Pendidikan Guru Agama milik pemerintah di Indonesia Timur. Di sini yang diterima hanya murid-murid yang berprestasi. Di sisi lain, sangat menguntungkan bagi orang-orang yang tidak mampu dari segi biaya. Siswa di sekolah ini setiap bulan mendapat tunjangan ikatan dinas (ID). Muhsin sangat senang karena sedikit mampu meringankan beban orang tuanya. Di sekolah ini juga ia terkenal sebagai siswa yang pandai berpidato. Ia juga selalu ditunjuk menjadi ketua kelas. Dalam berbagai pertemuan ia dipercaya untuk memimpin. Ia dikenal sebagai siswa berpengetahuan luas karena sangat rajin membaca. Tunjangan ID-nya setiap bulan tidak bersisa. Semuanya dibelikan buku. Ini berbeda dengan teman-temannya yang lebih suka membeli baju demi penampilan. Maklum, di sekolah itu bercampur antara pria dan wanita. Muhsin memang kurang perhatian terhadap penampilan. Ia tidak malu-malu menggunakan sarung ke sekolah kalau celananya sedang dicuci. Teman-temannya sering sinis melihat kebiasaan tak lazim itu. Tapi ia cuek saja. Lagi pula peraturan soal pakaian belum seketat sekarang.

Meninggalkan Bangku Kuliah

Muhsin lulus dari PGAN 6 Tahun dengan nilai memuaskan. Karena prestasi itu ia langsung mendpat tugas belajar di IAIN Alauddin, Makassar.  Muhsin sempat menjalankan tugas belajar tersebut. Namun hanya bertahan satu tahun. Ia berhenti kuliah. Alasannya, ia merasa tidak memperoleh tambahan ilmu yang berarti. Ia telah membaca semua materi kuliah yang diberikan dosen. Muhsin berkesimpulan bahwa kalau duduk beberapa tahun di bangku kuliah akan banyak menyita waktu dan energi, sementara hasilnya tidak seimbang dengan yang telah dikorbankan.  Hati Muhsin terusik juga ketika teman-teman kuliahnya menganggapnya sombong. Tapi prinsipnya tetap dipegang teguh. Menurutnya, kuliah banyak menyia-nyiakan waktu untuk ngobrol ngalor-ngidul antara mahasiswa dan mahasiswi. Yang diobrolkan pun tidak ada hubungannya dengan perkuliahan. Bahkan mengarah pada hal-hal yang tidak wajar dibicarakan. Karena itu Muhsin berpendapat lebih aman jika berhenti kuliah dan aktif berorganisasi, belajar langsung kepada ulama, giat berdakwah, dan gencar membaca.

Belajar Lewat Bacaan

Jika tidak ada rapat organisasi, Muhsin pergi ke tempat favoritnya, yakni toko buku. Beberapa toko buku di Makassar kala itu, seperti Hidayat Book Store, toko Buku Rakyat, Assagaf dan Aloha, menjadi langganannya. Ia sedih bila buku yang diminatinya tidak bisa dibeli karena uang yang dimilikinya tidak cukup. Saat itulah ia meminta kepada pemilik toko untuk menyimpan buku itu untuknya, sambil ia berusaha mencari uang untuk menebusnya. Beruntung karyawan toko buku umumnya telah mengenal Muhsin sebagai ''si kutu buku'', sehingga mereka tidak keberatan. Kegemaran seperti itu terus berlanjut kendati telah tampil menjadi muballigh muda favorit. Hampir setiap pekan ia tampak di toko buku, menghabiskan sebagian honor dakwahnya untuk belanja buku. Ketika telah menjadi pimpinan Pesantren Hidayatullah kegiatan membacanya  semakin tinggi. Untuk membeli sekian banyak buku ia rela mengeluarkan uang sampai jutaan rupiah. Ketika waktu kembali ke Balikpapan dengan menumpang kapal PELNI, buku yang diboyongnya sampai berkardus-kardus. Menariknya, buku-buku yang ia beli bukan melulu tentang agama tapi termasuk buku-buku manajemen, seperti buku tulisan Sondang P. Siagian. Buku pengembangan diri seperti karangan Dale Carnegie, Napoleon Hill, Norman Vincent Peale, David J.Schwartz, Herbert N. Casson, Stephen R. Covey, Gloria Steinem, John Naisbit, dan Alvin Toffler pun dibeli. Buku jurnalistik, ilmu pernapasan, pijat refleksi juga dibelinya. Setiap hari ia membaca tiga surat kabar ibu kota: Harian Merdeka, Kompas, dan Sinar Harapan, ditambah surat kabar lokal, Manuntung dan Suara Kaltim. Majalah Tempo, Gatra, Editor, Forum Keadilan, Topik, Panji Masyarakat, Kartini, termasuk majalah Trubus dan Asri tak luput dibacanya. Apalagi waktu menulis naskah Kajian Utama di majalah Suara Hidayatullah, gairah membacanya semakin besar. Selain membaca buku, ia juga sering mengikuti siaran radio BBC London, Voice Of America, radio Australia, dan RRI.

Belajar Lewat Masjid

Ayahnya sering mengajaknya melaksanakan shalat berjamaah dan mendengarkan ceramah di berbagai masjid. Ajakan tersebut baginya mengandung hikmah besar. Karena, di samping menjadi kebiasaan melaksanakan shalat berjamaah, juga dapat menimba ilmu dari ulama-ulama yang memberi pelajaran setiap ba'da Maghrib dan Shubuh. Ia belajar pada ulama-ulama terkenal, seperti KH Abdul Djabbar Asyiri, yang melatihnya menghafal dan memahami hadits-hadits. Sementara Ustadz Abdul Malik Ibrahim membimbing dasar-dasar bahasa Arab. Dan, yang mendorongnya lebih giat menggali Al-Qur`an adalah KH Ahmad Marzuki Hasan, yang masih saudara sepupu dengannya.

Belajar Lewat Pergaulan

Dalam menimba ilmu pengetahuan ia juga memanfaatkan pergaulan dengan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Ia merasa dapat mengembangkan cakrawala berpikir dan mendapat banyak masukan yang diperlukan lewat pertemuan dan diskusi tersebut. Ia juga bergaul akrab dengan orang-orang seperti Emil Salim, Amin Rais, Adi Sasono, Erna Witular, Nafsiah Mboi Walinono, dan Abbas Muin.


Menggeluti Organisasi

Keranjingannya berorganisasi tidak tanggung-tanggung. Setiap organisasi yang dimasukinya ia selalu memegang jabatan yang ia minati, yakni dakwah dan pengkaderan. Ketika duduk di bangku PGAN 6 Tahun, ia memilih organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII). Ia duduk sebagai pengurus ranting di sekolahnya dan seterusnya ke tingkat wilayah. Sementara organisasi pemuda yang digelutinya yakni Pemuda Muhammadiyah. Ia menjadi pengurus dari tingkat cabang hingga wilayah Pemuda Muhammadiyah Sulawesi Selatan dan Tenggara (Sulselra) periode 1966-1968. Pada masa pengganyangan G30S/PKI ia bergabung dengan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI). Ia juga aktif dalam latihan militer ketika terbentuk Komando Keamanan Angkatan Muda Muhammadiyah (KOKAM). Ia melibatkan diri dan menjadi pengurus Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) di kota Makassar. Parmusi ini diharapkan sebagai penjelmaan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Namun, rupanya Masyumi pun dilarang oleh pemerintah. Sejak itu Muhsin kecewa melihat sikap pemerintah. Ia tidak lagi meneruskan kegiatannya dalam partai. Akhirnya, ia kembali menggeluti dunia dakwah.

Menambah Ilmu di Jawa

Usai pendidikan muballigh di Makassar, Muhsin berangkat ke Surabaya bersama Usman Palese. Mereka sempat belajar sebentar di Pondok Modern Gontor, lalu pindah ke PERSIS Bangil. Di sini juga hanya bertahan tiga bulan. Muhsin lebih banyak berdiskusi dengan Ustadz Mansyur Hasan. Bahkan sering ditugaskan membawakan khutbah Jum'at dan ceramah di Masjid Persis. Muhsin juga senang berdiskusi masalah hukum dan politik serta hal-hal yang menyentuh agama dengan sepupunya, Jaksa Arsyad Hasan, SH. Lalu ia meninggalkan Surabaya menuju Jakarta. Di Jakarta, ia bersama Ustadz As'ad El-Hafidy membuka kursus muballigh. Cukup berhasil. Muballigh-muballighat muda banyak yang lahir dari kursus ini. Muhsin lalu kembali ke Makassar dan bergabung dengan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan di Kompleks Pendidikan Muhammadiyah. Ia aktif melakukan pengaderan dengan anak-anak muda binaan Ustadz Ahmad Marzuki Hasan dalam upaya pemberantasan kemaksiatan yang tengah marak di kota Makassar dan sekitarnya.

Mengganyang Judi

Peristiwa penghancuran tempat perjudian di Makassar terjadi pada 28 Agustus 1969. Sehari sebelumnya, rencana penghancuran diarahkan langsung oleh Muhsin Kahar dan Mahyuddin Thaha. Peristiwa ini melibatkan para pemuda Muhammadiyah di Makassar. Peristiwa menghebohkan di Sulawesi Selatan itu membuat ruang tahanan Kodim 1408 Makassar penuh sesak. Banyak anggota Pemuda Muhammadiyah ditahan. Bahkan beberapa tokoh seperti Ustadz Ahmad Marzuki Hasan, KH Fathul Mu'in Daeng Maggading, Ustadz M. Arief Marzuki, dan ayahnya sendiri Kiai Abdul Kahar ditahan. Bahkan sampai ada yang dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan hingga diproses ke pengadilan. Namun, atas saran beberapa ustadz, Muhsin Kahar harus segera pergi dari Makassar dan jangan menyerahkan diri.

Meninggalkan Kota Daeng

Muhsin meninggalkan Makassar ke arah selatan menuju daerah Gowa diantar oleh Amir Said dengan sepeda motor.  Pada 30 Agustus 1969 perjalanan dilanjutkan menuju Maros dengan diantar beberapa aktivis Pemuda Muhammadiyah. Akhirnya Muhsin bersama Manshur Salbu tiba di Maros setelah seharian berjalan kaki sejauh 40 km.  Lalu, pada 30 Agustus, Muhsin dibonceng dengan sepeda motor oleh Mahyuddin Thaha bertolak ke Pare-Pare dengan menempuh jarak 150 km. Muhsin juga mengganti namanya menjadi Abdullah Said.

Pare Pare yang Penuh Kenangan

Muhsin tidak hanya menetap di Pare Pare, ia sempat berkunjung ke Sidrap, dan Sengkang-Wajo, serta ke Pinrang dibonceng sepeda engkol oleh Abdul Fattah, aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Pare-pare. Abdul Fattah akhirnya berubah nama menjadi Abdurrahman Muhammad, yang ternyata kemudian menjadi Pemimpin Umum Hidayatullah. Selama di Pare Pare, Muhsin ditempatkan di sebuah kamar hotel tua yang tidak terpakai lagi agar tidak mengundang kecurigaan aparat. Hanya ada seorang pemikul air yang kurang normal bernama Marzuki yang sering ngomong tidak karuan. Penempatan ini atas pengaturan Mahyuddin Thaha dan H. Badiu. Pada saat terkurung di kamar yang hanya ada tumpukan ranjang-ranjang tua berdebu dan sarang laba-laba, ia merasakan tekanan yang menyiksa. Bukan karena sumpeknya kamar, tapi karena tidak bisa berceramah sebagai hobinya sejak kecil. Namun, di samping rasa sumpek itu, ada ketenangan yang diberikan Allah Swt kepadanya saat melakukan shalat lail (tahajjud). Ada inspirasi dan lintasan ilham yang mengalir deras. Kondisi ini tidak disia-siakan. Ia memanfaatkan waktunya untuk menulis. Ia mulai berkonsentrasi dan mengingat buku-buku yang dibacanya. Ia hanya ditemani sebuah tafsir Al-Furqan karangan A. Hassan dan beberapa majalah Kiblat yang memuat tulisan Mohammad Natsir secara bersambung tentang Fiqhu Dakwah. Juga mencoba mengingat pengalamannya sebagai muballigh. Hasilnya, lima buah buku penuh dengan tulisan tentang Metode Dakwah yang Efektif. Sebagai teman diskusi sekaligus melayani kebutuhan yang diperlukannya yakni Manshur Salbu. Kegiatan menulis berlangsung sampai tempatnya tercium dan digerebek petugas empat bulan kemudian. Tepatnya, Rabu, 24 Desember 1969, pada saat Manshur Salbu ditugaskan ke Makassar. Untung, Muhsin lolos dari sergapan petugas dengan menjatuhkan diri dari ketinggian empat meter lewat jendela lalu meninggalkan tempat itu melalui celah-celah rumah yang padat di kawasan itu. Sebelum kejadian mengagetkan itu, ia mendengar suara dengan jelas dalam keadaan tidur dan tidak. Ia ingat seperti ada yang membacakan sepotong ayat yang terdapat dalam Surat Yusuf ayat 10 yang berbunyi, '' La taqtulu yusufa ...,(janganlah engkau bunuh Yusuf)!'' Di kala itu ia berjanji dan memasang tekad, ''Kalau memang Allah masih memberi saya umur panjang, di manapun berada akan saya habiskan umur untuk hanya mengurus Islam, tidak mengurus yang lain. Saya anggap umur yang diberikan Allah sesudah ini adalah bonus yang terlalu patut saya syukuri.''

Meninggalkan Sulawesi

Kawan-kawan Muhsin segera mengurus kepergiannya. Seperti orang diusir, ia dipaksa naik kapal yang juga tidak tahu tujuannya. Pokoknya, kota mana saja yang dituju kapal, di situlah ia akan berbuat. Di kota ini pulalah kawan-kawan Muhsin mengganti nama Muhsin menjadi Abdullah. Ternyata, malam itu, 25 Maret 1969, Kapal Motor Ganda Ria yang ditumpanginya bertolak ke Balikpapan. Kapal yang ditumpanginya itu memuat ayam, sapi, dan sayur-sayuran. Setelah dua hari dua malam diombang-ambingkan gelombang Selat Makassar barulah ia tiba di pelabuhan Kampung Baru. Satu-satunya alamat yang dikenal adalah tempat kerja kakak iparnya, Muchtar Pae, yang bekerja di Kejaksaan Negeri Balikpapan. Ia tiba dengan berpakaian lusuh dan bersandal jepit yang warnanya beda.

Memperkenalkan Diri

Untuk menjaga keselamatan Abdullah, kakak iparnya melarangnya berceramah. Namun, kata Abdullah, ''Kayaknya rasa takut saya telah habis pada waktu dalam kejaran ancaman pembunuhan selama empat bulan.'' Suatu waktu pada acara Isra' dan Mi'raj di Karang Anyar, Balikpapan, muballigh yang bertugas mengisi acara tidak hadir. Pihak Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) mencoba menampilkan Abdullah Said (tambahan nama Said setelah tiba di Balikpapan) sebagai gantinya. Ceramah yang disampaikan Abdullah sangat lancar, padat, bersemangat, dan diselingi humor yang segar. Sejak itu, nama Abdullah Said mulai populer. Nama Muhsin Kahar yang telah malang melintang di Sulawesi Selatan pelan-pelan tenggelam.

Menggalang Anak Muda

Langkah awal yang dilakukan Abdullah Said dalam mencari kader dengan mengadakan kursus muballigh. Terbukti, setelah kursus berlangsung, banyak anak muda yang tertarik mengikutinya. Ia juga mengadakan berbagai kegiatan Training Center (TC). Untuk memelihara hasil yang diperoleh dalam TC, ia terus mengadakan pembinaan. Selain itu juga mengadakan pengajian setiap Ahad, yang dinamakan Up-Grading mental.

Ingin Belajar ke Timur Tengah

Abdullah Said mulai berpikir untuk mendirikan sebuah pesantren sebagai pusat pengkaderan da'i. Untuk mewujudkan niatnya itu ia merasakan kurangnya ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Sehingga ia membulatkan tekad untuk menuntut ilmu di Timur Tengah (Kuwait). Ia pun pergi ke Jakarta untuk mengurus rencana kepergiannya ke Kuwait. Di Jakarta ia bertemu seseorang dari Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) yang memberi nasihat kepadanya. Katanya, ''Bukankah Al-Qur`an yang dipelajari di Kuwait itu juga yang dipelajari di sini? Kalau menurut saran saya kembalilah ke Kalimantan, amalkan ilmu yang kamu miliki. Orang-orang di Kalimantan sekarang sangat memerlukan pembinaan. Siapa yang berdosa kalau harus menunggu pintarnya dulu baru beramal. Insya Allah, Dia akan menambah ilmu yang kamu rasakan sangat kurang itu manakala kamu mengamalkannya.'' Akhirnya setelah dipertimbangkan, Abdullah Said mengikuti nasehat orang tua itu, yang sampai akhir hayatnya tak mengetahui siapa orang tersebut sesungguhnya.

Memboyong Tenaga Pengajar

Abdullah Said lalu mengunjungi rekannya, Usman Palese, yang sedang belajar di Akademi Tarjih Muhammadiyah, untuk pulang ke Kalimantan. Sebelum pulang, ia juga sempat berceramah di Masjid At-Taqwa, Jakarta, milik Muhammadiyah. Ceramah tersebut membuat banyak anak muda terpesona dan terpengaruh sehingga ikut ke Balikpapan. Setelah tiba di Balikpapan, murid-muridnya menyambut dengan gembira. Pasalnya, sang guru, Abdullah Said datang dengan membawa tenaga-tenaga pengajar untuk mereka.

Memulai Kegiatan Pesantren

Kegiatan belajar mengajar bertempat di Gunung Sari, rumah H Muhammad Rasyid. Satu demi satu santri mulai berdatangan. Lalu pada 1 Muharram 1393 atau 26 Januari 1974 mereka hijrah ke Karang Rejo. Meski tempat ini berupa gubuk yang tidak layak dan jauh dari tetangga, tapi mereka tetap yakin, sabar, dan tawakal. Di tempat ini mereka tinggal 11 bulan.

Memulai Sejarah Baru

Di Karang Bugis mereka tinggal di sebuah emperan rumah milik seorang yang bernama Baba. Tempat ini dipakai untuk belajar sekaligus tempat tidur. Sementara empat kader putri yang setia mengikuti ditempatkan di sebuah rumah pinjaman. Salah satunya, Aida Chered, yang kemudian menjadi istri Abdullah Said. (Dari pernikahannya ini ia dikaruniai 7 anak: Saidah Abdullah Said, Ulfiah Su’adah Abdullah Said, Hizbullah Abdullah Said, Nashrullah Abdullah Said, Fathun Qorib Abdullah Said, Maftuhah Abdullah Said, dan Muntadzirizzaman Abdullah Said). Akhirnya, mujahadah mereka membuahkan hasil. Seorang tokoh masyarakat, H. Andi Kadir Mappasossong, mewakafkan tanahnya seluas 0,5 hektar. Setelah tiga tahun, untuk pertamakalinya Pesantren Hidayatullah memiliki sebidang tanah. Bangunan yang pertama kali diwujudkan adalah mushalla. Di tempat inilah setapak demi setapak mereka mulai mewujudkan rencananya. Dan, program-program pengembangan semakin padat dan nyata, sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat.

Membuka Gunung Tembak

Melihat kondisi Karang Bugis yang sedemikian sempit, maka Abdullah Said berpikir keras untuk mendapatkan lokasi yang lebih luas.  Setelah melakukan penjajakan, akhirnya pengurus pesantren menemukan tempat yang dianggap cocok. Lalu mereka bersama Walikota Balikpapan, H. Asnawie Arbain, menemui pemilik tanah. Lokasi seluas 5,4 ha ini diserahkan secara resmi oleh pemiliknya, Darman, pada 5 Maret 1976.  Saat mengetahui tanah itu untuk pesantren, orang tua itu menangis haru. Setelah pesantren sudah ramai dipenuhi santri yang berpakaian putih berduyun-duyun menuju tempat shalat, orang tua itu berkata kepada Abdullah Said, ''Sudah dua tahun lamanya saya bermimpi didatangi orang berpakaian putih dengan muka bercahaya. Sejak itu saya tidak pernah lagi makan nasi. Saya hanya makan buah-buahan dan minum air putih. Saya juga tidak tahu mengapa berbuat demikian. Hanya dalam hati saya ada perasaan bahwa ini pasti kebaikan yang akan muncul di tempat ini.'' *Manshur Salbu, Dadang Kusmayadi/Suara Hidayatullah

Ihwal 3 Mutiara Berserak dari Sang Pelopor


Sebuah pepatah berbunyi, “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, dan manusia mati meninggalkan nama.”   Namun meninggalnya orang-orang shaleh, memiliki dimensi lebih dari sekadar warisan nama dan benda. Di bawah ini butiran-butiran mutiara (hikmah) dari Allahu yarhamUstadz Abdullah Said, pendiri Pondok Pesantren Hidayatullah .
 
Kader
“Rasakan serta nikmati hal-hal yang tidak menyenangkan dalam perjuangan, maka akan mendapat kekuatan di dalam jiwa.”
 
Dakwah dan Kehidupan
“Keberhasilan dakwah seorang muballigh tidak ditentukan oleh banyaknya tepuk tangan dan pujian-pujian.”
“Ada kekeliruan yang sangat fatal di kalangan umat, bahwa Nabi Muhammad memilih hidup miskin itu diterjemahkan dengan hidup ideal yang islami adalah yang merana dan sengsara.”
“Jika nilai agama hanya diajarkan sebagai ilmu pengetahuan, tanpa diantar pada wujud pelaksanaan, itu merupakan suatu bencana besar yang menimpa umat Islam. Lebih besar bahayanya daripada gempa bumi yang  menewaskan sekian jumlah orang dan menimbulkan kerugian miliaran rupiah.”
“Dakwah yang lebih didengar adalah dakwah yang didukung oleh pembuktian nyata, berupa peragaan dan praktik di lapangan pada diri dan keluarga.”
“Karena ketidakjelasan manhaj, kadang-kadang dakwah Islam tidak lebih sekadar hura-hura.”
“Dakwah bukanlah pekerjaan ringan, karenanya Allah tidak menitip amanah ini kepada sembarang orang.”
“Di atas kesulitan-kesulitan yang kita hadapi di lapangan perjuangan, ada janji-janji Allah yang sangat menggiurkan.”
“Setetes hidayah dari Allah, jauh lebih berarti dari berjilid-jilid buku yang ditulis oleh seorang penulis paling terkenal sekalipun.”

Kehidupan
“Ukuran sederhana keimanan seorang mukmin, dapat diketahui lewat kadar cintanya kepada Tuhan melebihi cintanya kepada yang lain.”
“Hidup sengsara adalah pabrik yang paling produktif untuk lahirnya ide-ide brilian.”

Persatuan dan Jamaah
“Jangan sampai kita terlalu memacu program pelayanan dan pengembangan lembaga, sementara kondisi barisan (shaf) dan jamaah dalam keadaan morat-marit.

  Perputaran Roda Zaman
“Jangan hanya kagum dengan membaca sejarah yang telah dilakukan  Nabi dan sahabat-sahabatnya, serta kecemerlangan pejuang-pejuang Islam di belakang beliau. Tapi kita juga harus berbuat sesuatu yang pantas dicatat sejarah.”
“Muballigh adalah seperti anak panah yang meluncur mencari sasaran. Jika muballigh melenceng niatnya, jangan harap akan berhasil memperbaiki umat.”
“Betapa tragisnya, kalau hanya untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang yang berjasa, lantas kita korbankan kekayaan yang kita miliki. Yakni keikhlasan.”
“Yang dibutuhkan yunior dari para seniornya adalah keteladanan, bukan perasaan ingin diistimewakan. Perlakuan sebagai  orang yang istimewa, dapat melumpuhkan proses kaderisasi.”
“Allah memang Maha Pengampun, tetapi bukan berarti kita boleh seenaknya melakukan dosa.”

Syahadat
“Syahadat yang ideal adalah syahadat yang melahirkan kekuatan.”
“Sadar akan beratnya tugas khalifah, mestinya mendorong kita memperoleh kekuatan tambahan dengan meningkatkan mutu ibadah.”
“Orang yang bersyahadat tidak memerlukan apa yang orang umumnya kejar, dengan sangat mabuk dan penuh kegilaan, siang dan malam. Mereka sudah melampaui tahapan-tahapan seperti itu.”

Kampus dan Kehidupan Islami
“Alangkah sayang dan ruginya kita membikin kampus (pesantren) dimana-mana, kalau kehidupan yang ada di dalamnya sama dengan kehidupan di luar kampus.”

Al-Qur’an
“Kita dikucilkan orang karena kita tidak berqur’an, maka kita tidak  diberi kekuasaan karena kita jauh dari Qur’an.”
“Faktor utama yang membuat kita tinggal di buntut-buntut peradaban dunia adalah karena kita tinggalkan Al-Qur’an.”
“Orang yang paling aniaya adalah mereka yang tahu Qur’an itu nyata-nyata wahyu, tapi ditolak.”
“Sebelum memulai langkah dakwah, yang pertama-tama harus diselesaikan adalah mengimani Al-Qur’an sebagai konsepsi kebenaran mutlak satu-satunya.”

Dzikir
“Seseorang pada saat tidak berada dalam bimbingan Allah, maka dia akan dijadikan (dibimbing) syetan.”
“Berjuang di jalan Allah adalah salah satu cara mengharapkan perlindungan Allah Swt dari ganasnya serbuan syetan.”

Shalat Lail
”Bagi mereka yang pernah melakukan shalat lail tentu merasakan dan mengakui adanya pertarungan yang sangat seru dan sengit dalam menghadapi godaan syetan dan pengaruh nafsu yang luar biasa kuatnya.”

Hijrah
“Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah, dia akan mendapatkan rezeki yang banyak dan kehidupan yang lapang.”

Iman dan Nafsu
“Perlawanan orang-orang yang beriman atas kaum tiran, menjadi dekorasi sejarah yang membuat hidup ini menjadi indah.”
“Ciri khas dari keberadaan iman adalah tidak mungkin mentolerir bentuk-bentuk kebatilan, bagaimanapun dia dipercantik.”
“Pada dasarnya iman bergerak atas dasar kerinduan kepada Allah, sedangkan nafsu bergerak atas dasar ambisi.”
“Akibat perjuangan yang digerakkan oleh hawa nafsu, bukan kemenangan yang yang didapatkan sesuai janji Allah. Bahkan modal kekuatan yang sekian lama menjadi kebanggaan pun lenyap, bertukar dengan rasa takut, cemas dan khawatir.”
“Format serta model orang yang bekerja karena iman, sudah ada ukurannya dalam Al-Qur’an. Hasil serta ujungnya pasti ada kesamaan.”
“Hanya bagi mereka yang merindukan Allah, yang sangat mengharapkan perjumpaan dengan Allah.”
“Tidak mungkin ada iman yang mengalah dan menyerah pasrah lalu diam dan berpangku tangan tanpa berbuat apa-apa.”
“Iman bukan suatu yang pasif dan netral, ia selalu aktif dan menghasilkan hal-hal positif.”
Shalat dan Do’a
“Berdoa berbeda dengan membaca doa.”
“Usai bertemu dengan Allah (shalat), hendaknya menghasilkan dua hal: semakin bertambah keyakinannya, dan siap melakukan tugas-tugas sebagai khalifatullah fil ardi.”
“Shalat nyaris ‘tidak ada gunanya’ bagi mereka yang tidak melaksanakan tugas tugas kekhalifahan di muka bumi.”
  * Ali Athwa/Suara Hidayatullah


Aida Chered (istri almarhum Ustadz Abdullah Said) Beliau Sosok Romantis
Pertemuannya saya dengan almarhum adalah sebuah anugerah dari Allah . Jalinan rumah tangga dengan beliau telah mengubah pandangan saya terhadap kehidupan. Pemahaman keislaman saya semakin bertambah, dan saya menemukan tujuan hidup yang hakiki. Perkenalan saya dengan beliau diawali di sebuah acara pernikahan. Saat itu saya berusia 23 tahun. Ketika memberi khutbah nikah, banyak yang terkesima dengan materi yang disampaikannya. Saya penasaran untuk terus mengikuti pengajian-pengajian beliau. Puncaknya ketika saya meninggalkan pekerjaan di Dinas Kesehatan Kota (DKK) untuk bergabung dengan beliau. Ketika itu kegiatan kami hanya belajar. Saya rela meninggalkan pekerjaan karena sudah lama ingin meningkatkan pemahaman keislaman. Setelah dua tahun mengikuti pengajian tersebut, akhirnya saya dipersunting oleh beliau. Sejak itu, saya merasakan perubahan drastis dalam hidup sebagai seorang Muslimah. Sebagai seorang istri, saya harus siap mendampinginya dalam suka dan duka. Kebahagiaan saya saat itu bukan karena pelayanan istimewa dan berbagai fasilitas untuk sang suami, karena saat itu belum ada apa-apa. Makan saja susah. Tapi karena saya telah menemukan makna hidup, perjuangan yang kami jalani terasa nikmat, sehingga hampir tak terasa dukanya. Untuk menambah pemahaman tentang perjuangan, saya senantiasa menyimak dengan serius setiap kali beliau memberikan pengajian. Ya, kadang-kadang saya itu disindir melalui ceramah. Maklum, beliau sangat sibuk, jadi kadang-kadang tidak sempat memberikan nasehat secara langsung. Meski memiliki mobilitas tinggi, tapi bagi saya beliau adalah sosok yang romantis. Ia sangat perhatian kepada istri. Demikian juga ketika telah mempunyai buah hati. Beliau tidak luput memperhatikan perkembangan anak-anak. Dalam hal shalat, misalnya, beliau sangat tegas. Beliau meminta untuk meninggalkan semua kegiatan dan segera mempersiapkan anak-anak untuk menunaikan shalat. Bahkan kalau ada tamu pun beliau minta untuk meninggalkan dulu tamu tersebut. Saya sangat bersyukur meski waktu yang tersedia untuk anak-anak sangat sedikit, tapi beliau berusaha untuk bercengkrama dan bercanda dengan buah hatinya. Sekarang, saya tidak punya pola pendidikan secara khusus untuk pendidikan anak-anak. Tapi saya senantiasa memperkuat do’a agar anak-anak tumbuh sebagai anak yang shaleh dan shalehah. *Mujahid/Suara Hidayatullah

Ibu Atika, Juru masak awal di Gunung Tembak Selalu Makan Bersama Santri
Ustadz Abdullah said sosok yang sangat pemberani. Ketika menumpang di rumah saya di Gunung Sari, beliau sempat dicari-cari polisi, tapi selalu luput. Setiap kali para polisi pulang, beliau kembali mengadakan pengajian yang berpindah-pindah, yang diikuti sekitar 30-an pemuda yang setia mengikuti pengajiannya. Ketika hijrah ke Gunung Tembak, beliau selalu menikmati sajian yang disediakan, apa pun menunya. Satu hal yang selalu terkenang oleh saya, beliau tidak pernah mau makan sendiri, ia selalu bergabung dengan para santri atau memanggil orang untuk makan bersamanya. Demikian juga dalam memperlakukan orang lain, beliau selalu menyapa siapa saja, sehingga semua merasa diperhatikan. Beliau sangat perhatian kepada santrinya termasuk soal-soal yang kecil. Misalnya, beliau kerap meminta saya membagikan sabun kepada para santri yang diletakkan di mangkuk-mangkuk kecil, lalu diletakkan di depan kamar masing-masing. *Mujahid/Suara Hidayatullah

Thoriqul Fajr, Pendamping Bagian Kerumahtanggaan. Beliau Seorang Humoris
Beliau seorang yang humoris, sehingga saya merasa senang mendampingi beliau. Beliau pernah memarahi saya, tapi kemarahan itu tidak membuat saya kesal, karena setelah itu selalu dibawa bercanda. Pernah suatu kali, saya memakai sepatu dengan merek terkenal dan lumayan mahal harganya. Sepatu saya itu sama dengan yang digunakan beliau. Lalu beliau pun menegur saya. “Bagus juga sepatumu Thoriq?” “Ah tidak Ustad, sama saja dengan sepatunya Ustadz.” Beliau tidak bisa menahan tawanya, lalu berkata, “Kalau saya kan dikasih orang.” Rupanya sikap dan gaya saya merupakan hiburan tersendiri bagi beliau. Sampai akhirnya saya pun dinikahkan dengan keponakannya. *Mujahid/Suara Hidayatullah

Post a Comment

Previous Post Next Post